Pendahuluan
Ziarah atau berkunjung ke makam pada dasarnya merupakan salah satu rangkaian kegiatan religius manusia. Rachmat Subagio (1980) mengartikan bahwa ziarah mengandaikan kondisi manusia sebagai pengembara di dunia yang hanya mampir ngombe. Ziarah menuju ke tempat suci, pepundhan, pura, watu kelumpang, makam leluhur, nenek moyang atau cikal bakal desa. Orang yang berziarah ke makam pada umumnya dihubung-kan dengan tokoh orang keramat yang dimakamkan di tempat itu. Dalam kepercayaan orang Jawa, yang Koentjaraningrat menyebutkan dengan istilah agami Jawa (1984:325) yang termasuk orang keramat antara lain guru-guru agama, tokoh-tokoh historis maupun setengah historis, tokoh-tokoh pahlawan dari cerita mitologi yang dikenal melalui pertunjukan wayang dan lain-lain, juga tokoh-tokoh yang menjadi terkenal karena suatu kejadian tertentu.
Bagi orang yang memiliki kesenangan melakukan ziarah ke tempat-tempat yang mereka anggap sebagai makam ulama, wali maupun makam tokoh sejarah yang telah memiliki pengaruh kuat di suatu daerah seperti halnya makam keramat Embah Kuwu Sangkan di Kampung Talun, Desa Cirebon Girang, bukanlah tempat yang asing.
Para peziarah seperti ini umumnya telah mengetahui kekeramatan tokoh yang dimakam-kan di tempat ini. Bahkan peziarah seperti ini melakukan ziarah secara berantai dari suatu makam keramat ke makam keramat yang lainnya.
Riwayat Embah Kuwu Sangkan
Embah Kuwu Sangkan adalah anak pertama Prabu Siliwangi dari hasil perkawinan dengan Nyai Mas Subanglarang, yaitu putri Mangkubumi Mertasinga Cirebon. Embah Kuwu Sangkan dilahirkan pada tahun 1423 Masehi di keraton Pajajaran. Semasa remajanya ia bersama adiknya bernama Nyai Mas Ratu Rara Santang pergi meninggalkan keraton Pajajaran, karena mereka memiliki keyakinan yang berbeda dengan ayahnya.
Dalam pengembaraannya, mereka mencari seorang guru yang sesuai dengan petunjuk dalam mimpinya. Mereka bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw yang memerintahkan untuk mencari ajaran syariat Islam yang dapat menyelamatkan manusia di dunia maupun di akhirat. Akhir dari pengembaraannya, dan berdasarkan beberapa petunjuk, akhirnya mereka bertemu dengan Syech Nurul Jati di Gunung Jati yang mampu mengajarkan syariat Islam di antaranya mengajarkan tentang Dua Kalimah Syahadat, Sholawat, membaca Al-Qur’an, Dzikir, Sholat, Zakat, Puasa , Kitab Piqih, Ibadah Haji dan lain sebagainya.
Setelah dianggap cukup menimba ilmu tentang Syariat Islam, akhirnya ia diberi kesempatan oleh Syech Nurul Jati untuk menyebar-kan ajaran Islam dan membuka pemukiman baru baik di wilayah Cirebon maupun daerah sekitarnya.
Motivasi Peziarah
Peziarah datang berkunjung dengan rombongan besar maupun perorangan tentu didorong oleh berbagai motivasi atau niat yang berlainan antara satu dengan lainnya, yang masing-masing mempunyai motivasi yang belum tentu sama, tergantung apa yang akan “diminta dan kepentingan”. Peziarah yang datang berkunjung ini kebanyakan mendengar dan diberitahu oleh teman, tetangga atau kerabatnya tentang “kekeramatan, karisma” Embah Kuwu Sangkan yang dapat memberi harapan untuk hidup yang lebih baik dan lain sebagainya Motivasi mereka untuk berziarah itu ada karena kemauan sendiri, tetapi ada juga yang diajak atau dianjurkan teman, tetangga atau kerabatnya yang merasa berhasil. Oleh karena itu, cara mereka berkunjung itu ada yang seorang diri, mengajak teman atau saudara, ada pula secara berombongan.
Peziarah yang mengunjungi tempat keramat, termasuk mereka yang datang ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan pada umumnya dilandasi oleh niat, tujuan yang didorong oleh kemauan batin yang mantap.
Berdasarkan kenyataan di-lapangan terdapat berbagai macam motivasi para peziarah datang ke makam keramat tersebut. Salah satu di antara motivasi peziarah datang berkunjung ke makam Embah Kuwu Sangkan adalah untuk menenangkan bathin. Motivasi ini didukung oleh persepsi yang menyebutkan bahwa makam Embah Kuwu Sangkan itu adalah tempat yang sakral. Para peziarah merasa menemukan tempat yang cocok dengan maksud atau niat mereka datang ke tempat ini.
Bapak Ukri (bukan nama sebenarnya) yang berusia 53 tahun, adalah peziarah dari Indramayu menjelaskan, “saya ke ke tempat ini bermaksud menenangkan bathin, karena banyak masalah yang mengganggu pikiran saya”. Ia yang berprofesi sebagai pedagang onderdil motor bekas. Dalam kehidupan keluarga ada permasalah yang melilit, di antaranya selain usahanya bangkrut juga ia perlu biaya untuk anak. Selama di makam keramat ini ia sudah melakukan puasa selama 37 hari. Menurutnya, ia berpuasa atas kemauan sendiri. Selain berpuasa. Ia melakukan sholat malam atau Sholat Tasbih, kemudian dzikir. Setelah beberapa kali melakukan kegiatan tersebut, Bapak Ukri sedikit demi sedikit pengalami perubahan dalam kehidupannya, bahkan akhirnya ia mendapat pekerjaan diperusahaan swasta. Selanjutnya, menurut bapak Ukri , ia selalu melaksanakan wirid, di antaranya :
Wirid sebelum sholat fardu (qobla) dan sesudah sholat fardlu (ba’da) yang lima waktu, yaitu 2 s/d 4 rakaat sebelum dan sesudah sholat Maghrib, 2 s/d 4 rakaat sebelum dan sesudah sholat Isya, 2 s/d 4 rakaat sebelum dan sesudah sholat Subuh, 2 s/d 4 rakaat sebelum dan sesudah sholat dhuhur, 2 s/d 4 rakaat sebelum sholat Ashar.
Sesudah matahari naik sepenggal kira-kira pukul 06.00, shalat Isroq, Isti’adah dan Istikharah.
Sholat Dhuha yang waktunya kurang lebih sampai pukul 11.00 sebanyak 8 rakaat
Sholat Tasbih, dilakukan setiap malam
Sholat yang merupakan bagian penutup diteruskan dengan wirid dzikir sebanyak-banyaknya.
Setelah sembahyang Magrib dilakukan wirid Dzikir sekurang-kurangnya 165 kali, dilanjutkan dengan khotaman dan witir-witir lainnya samapai waktunya shalat Isya. Kemudian dilakukan sholat malam hari, yaitu sholat Tahiyatul Masjid dan Syukrul wudhu sebelum kering air wudlu, sholat hayat yang lebih baik dilaksanakan di malam hari, sholat Taubat yang gunanya untuk mencuci dosa yang telah diperbuat oleh manusia, sholat Tahajud yaitu 40 malam mandi 40 kali tiap-tipa malam, 40 malam “melek” (tidak tidur), 40 hari berpuasa, 40 hari tidak makan nasi atau ‘niis’, 40 hari tidak makan garam, 40 hari tidak minum, dan lain-lain.
Peziarah lain yang mengaku bernama Karwati (bukan nama sebenarnya), usia 36 Tahun. Ia berasal dari Majalengka menyebutkan, ia datang ke Cirebon pada mulanya hanya diajak oleh tetangga. Sejak awal ia merasa tidak memiliki motivasi datang ke makam Embah Kuwu Sangkan, namun setelah beberapa kali datang makam keramat tersebut ia berperasaan lain. Sejak itulah memiliki itikad untuk merubah nasibnya. Ia di makam Embah Kuwu Sangkan bermalam sambil melakukan sembahyang malam dan membaca wirid dan dzikir. Wirid yang ia baca atau diamalkan dimakam itu bukan wirid seperti yang dianjurkan melainkan yang dia miliki sendiri. Setelah sholat subuh di masjid, biasanya ia membaca wirid dimakam keramat itu sampai pagi sekitar pukul 06.15. Kegiatan dimakam dilakukan kembali setelah sholat Isya hingga larut malam. Ia tidak tidur di makam, melainkan di mesjid yang letaknya berdampingan dengan komplek makam keramat. Untuk keperluan makan tinggal pergi ke warung yang berada di dekat mesjid itu juga. Menurut pengakuannya, ia sering pergi ke tempat-tempat yang menurutnya merupakan tempat sakral. Menurutnya, baru ia pulang kerumah apabila setelah mendapat ilapat (ilham). Hingga sekarang, menurut pengakuan-nya kehidupannya sudah ada sedikit perubahan.
Motivasi peziarah yang lainnya menyebutkan bahwa ia datang ke makam Embah Kuwu Sangkan bermaksud untuk merubah nasib. Motivasi seperti ini disebutkan oleh Bapak Badru (bukan nama sebenarnya) 47 tahun peziarah dari Cirebon Utara yang profesinya sebagai buruh bangunan maupun Eko ( 23 tahun) yang belum memiliki pekerjaan tetap berziarah ke makam ini niatnya untuk mencari keberkahan sehingga ada perubahan pada nasibnya. Bapak Badru baru mengetahui bahwa makam keramat Embah Kuwu Sangkan itu sebagai makam yang banyak dikunjungi peziarah setelah diberitahu oleh teman sekerjanya. Namun terdorong oleh niatnya untuk mencoba melakukan ziarah sambil mencoba berusaha mengubah nasibnya, ia mengatakan:
“Saya datang ke makam wali ini bermaksud berziarah, semoga dengan perantaraan ziarah ini ada perubahan kepada nasib saya. Semoga ada rizki saya dengan sebab ziarah ini).
Hal serupa dikatakan oleh Ibu Martina dari Probolinggo, Jatim ini bermaksud ziarah dan berharap dengan berziarah imudah-mudahan dapat menemukan kecocokan dalam berdagang. Katanya, selama berziarah ia sudah berpuasa 12 hari. Dengan berziarah ini mudah-mudahan menemukan jalan yang tepat sehingga ada kemajuan dalam usahanya. Keinginan Ibu Martina ini didorong karena telah menyaksikan temannya yang mencoba berdagang bermacam barang, tapi belum mendapat kecocokan “jodoh”. Setelah berziarah, dan mendapat jodoh, ia berubah usahanya dengan berjualan bakso tahu, ternyata jualannya ada perubahan dan mengalami kemajuan.
Berlainan dengan Bapak Agus (40 tahun), ia berasal dari Sukabumi dan bekerja pegawai swasta, yakni dibidang bangunan. Selama berumah tangga ia belum mendapatka keturunan. Kesana-kemari ia telah berupaya baik ke dokter ataupun ke pengobatan Alternatif tetapi belum membuahkan hasil. Karena ia penasaran ia tekun beribadah, kemudian berziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan dan berdoa Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara berulang kali, ia berziarah sambil memohon barokah kepada Yang Maha Kuasa. Berkat kebesaran Yang Maha Kuasa, istri Bapak Agus dikaruniai anak. Menurut pengakuannya, sejak itu Bapak Agus sering ziarah ke makam Embah Kuwu Sangkan, baik untuk keperluan urusan keluarga maupun usaha. Sejak itu pula usahanya mengalami kemajuan.
Peziarah lainnya yang mengaku bernama Ibu Sumarni ( 50 Tahun) berasal dari Indramayu. Menuturkan, ia berziarah ke makam Embah Kuwu Sangkan ini karena ingin berubah nasib, usahanya selalu gagal dan rugi atau dibohongi orang. Ia pada mulanya berziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan karena diberitahu oleh orang lain. Tetangganya dulu, yang sehari-harinya bekerja sebagai berjualan di Bandung setelah berziarah ke makam keramai ini jualan semakin laris. Bahkan sekarang sudah bisa membeli rumah kontraknya. Menurut Ibu Sumarni menuturkan keinginannya:
“Mudah-mudahan doa saya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, saya hanya ikhtiar sedangkan yang menentukan hanya Dia. Oleh karena itu, semoga menjadi jalan untuk membuka rizki saya”.
Ibu Sumarni bermalam di makam keramat Embah Kuwun Sangkan. Kegiatan yang dilakukan selama semalam yakni sholat Tasbih sembahyah dilanjutjkan dengan membaca wirid-wirid atau zikir. Setelah sembahyang subuh kembali membaca doa wirid dan tak henti-henti berzikir. Sebelum pulang, terlebih dahulu minta “air doa” . Air tersebut untuk diminum atau dipakai mandi.
Peziarah lainnya, Bapak Purwoto (45 Tahun) dari Cilacap menuturkan motivasi berziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan ingin menyembuhkan adik perempuannya yang strees. Menurut ceritanya, awalnya adik perempuannya selalu mengurung diri di kamar, seolah-olah dirinya merasa putus asa (apatis), ia tidak mau melakukan apa-apa. Suatu ketika ia ada yang melamar, dan tak lama kemudian ia menikah. Setelah menikah malah justru ia menjadi-jadi, sehingga dapat dikatakan meresahkan tetangga sekitar. Puncaknya, suami menjadi tidak betah dan tidak bertanggung Jawab. Akhirnya, yang bertanggung-jawab Bapak Purwoto sebagai anak yang terua ini. Karena merasa bertanggungjawab, ia kesana-kemari berusaha menyembuhkan adiknya yang malang itu, baik berobat ke dokter jiwa, maupun ke orang pintar. Tapi usahanya nihil, dan nyaris putus asa.
Katanya, ia mengetahui ke makam keramat ini dari teman sekerjanya di kantor. Setelah berziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan, kondisi jiwa adiknya menjadi tenang dan terbuka pikirannya karena banyak berdoa dan zikir memohon kepada yang punya-Nya.
Menurut pengakuan peziarah, pada umumnya motivasi mereka berziarah kemakam menginginkan kelancaran dalam arti tidak ada gangguan atau sesuatu hal yang akan menyebabkan usahanya mengalami kegagalan. Pernyataan demikian di lontarkan oleh Bapak Bambang (50 Tahun) berasal dari Tegal. Ia berziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan bersama rombongan seprofesinya sebagai pengusaha kecil-kecilan di bidang pertukangan, terutama pemasangan Gypsum di setiap perumahan. Karena sekarang mengalami persaingan yang ketat antar seprofesinya, maka usahanya mengalami kembang kempis. Oleh karena ia, mencoba ziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan. Ia bersama rombongan, mengetahui ke makam keramat ini atas petunjuk seorang teman yang bekerja di PLN.
Bapak Bambang seorang tukang ojeg menyebutkan bahwa ia datang ke makam keramat ini sudah tiga hari. Selama di makam keramat Embah Kuwu Sangkan mereka melakukan sholat malam secara berjamaah dan membaca doa, wirid serta zkikir seperti umumnya dilaksanakan oleh peziarah lainnya. Setelah pajar, mereka melakukan sholat Subuh dan memohon doa restu kepada Allah SWT agar maksudnya dikabul.
Kajian Data
Berziarah berarti mengunjungi atau mendatangi ke makam untuk mendoakan. Berziarah dianjurkan oleh Rasulullah, tetapi sebatas untuk mengingatkan kepada kita bahwa setiap makhluk hidup yang bernyawa akan mengalami mati, dan ada kehidupan tentu ada kematian. Oleh karena kita harus selalu mempersiapkan segalanya untuk bekal di akhirat nanti. Bagi yang shaleh dan beramal baik, selalu di dikenang dan dijadikan tauladan, sehingga tidak sedikit orang yang berkunjung ke makam tersebut untuk mendoakan agar yang bersangkutan ditempatkan disisi-Nya, dan sebagainya. Makam yang dikunjungi adalah makam seorang ajengan atau Kyai. Seorang tokoh yang tekun dan menyebarkan ajaran agama Islam serta dimitoskan oleh masyarakat yang percaya dan meyakininya sebagai penuntun hidup, yakni Pangeran Walangsungsang atau disebut Embah Kuwu Sangkan.
Tatacara berziarah menurut ajaran Islam diatur dalam kitab fiqih, di antaranya bila memasuki makam pertama-tama mengucapkan:
“Assalaamu’alaikum ya ahladiyaari minal mu’miniina wa innaa in syaa-allaahu bikum laahiquun(a). As-aalullaahalanaa wa lakumul’aafiyah.”
Artinya semoga kesejahteraan selalu ada pada kalian, wahai penghuni kampung orang-orang yang beriman, Sesungguhnya kami jika Allah menghendaki akan bertemu dengan kalian. Kami memohon kepada Allah kesejahteraan untuk kami dan untuk kalian semua.
Bila memasuki ke tahan pekuburan dan mencari makam yang dikehendaki misalnya makam orang tua atau makam para wali Allah mengucapkan:”Assalamu’alaikum ayyatuhal arwaahul faaniyatu wal abdaanul baaliyatu wa’izhaamun nakhirah, allatii kharajat minaddun yaa wahiya billaahi mu’minah. Allaahumma adkhil’alaihim rauhan minka wasalaaman minnii”
Artinya, Semoga keselamatan selalu ada pada kalian, wahai para ruh yang telah rusak dan badan yang telah busuk serta tulang-tulang yang telah hancur, yang telah keluar dari dunia dalam keadaan beriman kepada Allah. Ya Allah, masukkanlah kepada mereka rasa kenyamanan dari-Mu dan keselamatan dariku.
Setelah di atas makam mengharap ke timur berarti berhadapan dengan mayat kemudian membaca Al-fatihah dan Surat Yasiin atau bacaan Tahlil. Setelah itu membaca doa yang maksudnya agar pahala bacaan-bacaan bisa diterima oleh ahli kubur.
Bacaan doa untuk ahli kubur sebagai berikut:
“Bismillaahirrahmaanirrahim.Alhamdulillaahi raabil’aalamiin. Allahumma taqabbal wa aushiltsawaaba maaqara’naa liruuhi sayyidinaa muhammadin washshahaabati wattabi’iina wa mujtahidiina wal muqallidiina wal mushannifiina wal ulamaa-il ‘aamiliina wa arwahi aabaa-inaawa ummahaatinaa wa ajdaadinaa wajaddaatinaa wa a’maaminaa wa’ammaatinaa wa akhwaalinaa wakhaalaatinaa wa ustaadzinaa wa amwaatil muslimina wal muslimaati wal mu’miniina wal mu’minaat. Allahummaghfir lahum warhamhum wa’aafihim wa’fu ‘anhum wa nawwir qubuurahum wa adkhilhumul jannata ma’al abraari burahmatika yaa arhamarraahimiina wa hamdu lillaahi rabbil’aalamiin”.
Artinya: Dengan menyebut nama Allah Yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah seru sekalian alam. Ya Allah, terimalah dan sampaikanlah pahala dari semua yang telah kami baca kepada Ruh Jungjunan kita Nabi Muhammad saw, para sahabat, para Tabi’in, para Mujtahid, orang-orang yang taqlid dan para pengarang kitab-kitab agama, para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan kepada para arwah bapak kami, ibu kami, nenek-nenek kami, paman-paman kami, dan kepada arwah guru-guru kami dan semua orang-orang Islam serta orang-orang Mukmin yang telah meninggal dunia. Ya Allah, ampunilah mereka, kasihanilah mereka, berilah kesejahteraan mereka, hapuskanlah dosa-dosa mereka, sinarilah kuburan mereka dan masukanlah mereka ke dalam sorga bersama-sama orang yang baik, berbat rahmat-Mu, wahai Dzat Yang maha Pengasih. Dan segala puji bagi Allah seru sekalian alam.
Itulah tatacara berziarah ke makam yang dianjurkan oleh Rasulullah kepada umatnya. Ber-ziarah dianjurkan dan sunat hukumnya. Itu setelah keadaan berubah di mana umat Islam sudah kuat memegang Aqidah. Adapun larangan apabila berziarah ke makam tidak boleh menginjak atau menduduki kuburan, apalagi dibagian kepalanya. Seseorang yang sudah meninggal tidak boleh dibicarakan kejelekannya.
Peziarah mendoakan ahli kubur memang sewajarnya, bukan sebaliknya peziarah mohon bantuan sesuatu kepada ahli kubur. Dalam hal berziarah/mengunjungi atau mendoakan ahli kubur ada dua pendapat: pertama, untuk mendoakan ahli kubur tidak selalu harus diucapkan di depan kuburan orang tersebut. Alasannya, doa itu bukan tali, walaupun disampaikan dari rumah, masjid, dan sebagainya tentu akan sampai kepada Tuhan; kedua, memang doa itu bukan tali tetapi ada tempat utama dan ada pula tempat yang lebih utama. Doa yang disampaikan dari rumah itu pun baik, tapi lebih utama jika secara langsung diucapkan di depan makam orang yang dimaksud. Di depan makam setidaknya akan membantu hati lebih khusuk dalam memanjatkan doa.
Secara tidak disadari kegiatan peziarah dapat saja tergelincir kepada praktek syirik (menyekutukan Allah) yang bertentangan dengan aqidah Islam. Untuk mencegah dan menanggulangi hal tersebut, perlu adanya pembinaan atau pengarahan dari pemuka agama secara perlahan-lahan.
Sebenarnya bergantung pada motivasi itu sendiri, bila sebatas ingin mendoakan ahli kubur agar diberikan berkah dan diampuni dosanya oleh Allah SWT mungkin tidak tergolong menyekutukan Allah. Tapi bila motivasinya ngalap berkah (mencari berkah) atau mohon bantuan sesuatu yang dari sudah meninggal, tentu masalahnya menjadi lain. Jangankan untuk mengurusi atau membantu orang lain (yang masih hidup), untuk mempertanggungjawabkan diri sendiri pun repot. Jadi, sudah sewajarnya orang yang masih hidup mendoakan kepada orang yang sudah meninggal. Membaca ayat-ayat suci Al-Quran atau mendoakan orang yang sudah meninggal dunia termasuk pula ibadah. Bagi siapa saja yang membacakan ayat-ayatt suci tersebut tentu mendapat pahala dan berkah dari Allah swt.
Oleh karena itu, bergantung dari mana kita memandang segala sesuatu itu. Tidak dapat kita pungkiri, bahwa ada kesalahpahaman dalam memandang tetang ziarah itu. Kesalahpahaman itu semakin lama semakin merebak sehingga sulit dibedakan, mana yang dianjurkan dan mana yang dilarang.
Terlepas dari itu semua, ziarah itu sudah merupakan kebiasaan atau tradisi masyarakat yang sulit ditinggalkan atau dihilangkan. Biarlah itu hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, selama kegiatan itu tidak menyesatkan dan tidak keluar dari rambu atau aturan-aturan yang ada, itu tidak menjadi masalah. Atau, selama masih memiliki nilai budaya yang dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pendukungnya.
Berziarah atau mengunjungi makam keramat merupakan suatu upaya untuk mencari berkah dari Allah swt. Bagi yang memiliki motivasi lain, kegiatan itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam karena termasuk menyekutukan Tuhan. Perbuatan itu tidak dibenarkan karena hukumnya dosa besar.
Peziarah hendaknya pandai memilah-milah agar jangan sampai terjerumus menjadi umat yang rugi. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang baik. Bagi yang belum dapat memahami, bila dirasakan besar manfaatnya maupun sebaliknya, merupakan suatu resiko yang harus diterimanya. Namun atas keyakinan, mereka siap melakukan apa saja walaupun memerlukan pengorbanan moril maupun materil. Secara materi misalnya, tidak sedikit jumlah biaya yang harus dikeluarkan, walaupun maksud dan tujuan yang diinginkan belum tentu terkabul. Rupanya masalah itu tidak menjadi problema, karena menyadari bahwa segala suatu itu perlu upaya, walaupun yang menentukan segalanya Allah Swt.
Tidak dapat dipungkiri, itulah salahsatu sistem kepercayaan yang ada dan berkembang di masyarakat kita. Namun itu merupakan nilai budaya bangsa yang sarat dengan nilai luhur.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa makam keramat Embah Kuwu Sangkan merupakan salah satu makam keramat di Cirebon yang banyak dikunjungi baik dari dalam wilayah Cirebon maupun daerah lainnya seperti Indramayu, Majalengka, Cilacap, Probolingggo dan sebagainya.Peziarah berkunjung ke makam Embah Kuwu Sangkan dilandasi beberapa motivasi antara lain: Perziarah memiliki motivasi untuk menenangkan bathin Peziarah datang ke makam keramat Embah Sangkan dengan memiliki motivasi untuk merubah nasib. Peziarah berkunjung kemakam keramat tersebut dilandasi ingin mendapatkan kelancaran usaha. Peziarah datang karena memiliki motivasi untuk mencari keselamatan jasmani maupun rohani. Peziarah datang ke makam keramat tersebut semata-mata melakukan latihan ketahanan mental.
Adanya motivasi yang melandasi peziarah terhadap makam keramat Embah Kuwu Sangkan, dari sisi spiritual menandakan bahwa manusia dalam melaksanakan upayanya tidak hanya bermodal kepada upaya lahiriah, namun upaya batiniah menunjukkan bahwa manusia tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya. Untuk itu, manusia mencari hubungan dengan kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Pangeran Cakrabuana
BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro di Karawang. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah atau Mbah Kuwu Cirebon) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; grahaartinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwatiberarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi namaNagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana.Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
Silsilah Sunan gn.jati Dari Raja Pajajaran
Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah
.Rara Santang (Syarifah Muda’im)
.Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II
.Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali)
.Niskala Wastu Kancana @ Prabu Sliwangi I
.Prabu Linggabuana @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)
Silsilah Dari Rasulullah
Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin
.Sayyid ‘Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin
.Sayyid ‘Ali Nuruddin Al-Khan @ ‘Ali Nurul ‘Alam
.Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan bin
.Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
.Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan bin
.Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
.Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
.Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
.Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin
.Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
.Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
.Sayyid Alawi Awwal bin
.Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin
.Ahmad al-Muhajir bin
.Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi bin
.Sayyid Muhammad An-Naqib bin
.Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
.Sayyidina Ja’far As-Sodiq bin
.Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
.Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin
.Al-Imam Sayyidina Hussain
Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad
SILSILAH PARA SULTAN KANOMAN
- Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah
- Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
- Panembahan Sedang Kemuning
- Panembahan Ratu Cirebon
- Panembahan Mande Gayem
- Panembahan Girilaya
- Para Sultan :
- Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)
- Sultan Kanoman II ( Sultan Muhammad Chadirudin)
- Sultan Kanoman III (Sultan Muhammad Alimudin)
- Sultan Kanoman IV (Sultan Muhammad Chaeruddin)
- Sultan Kanoman V (Sultan Muhammad Imammudin)
- Sultan Kanoman VI (Sultan Muhammad Kamaroedin I)
- Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin )
- Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
- Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
- Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
- Sultan Kanoman XI (Sultan Muhamamad Jalalludin)
SILSILAH SULTAN KASEPUHAN CIREBON
- Pangeran Pasarean
- Pangeran Dipati Carbon
- Panembahan Ratu
- Pangeran Dipati Carbon
- Panembahan Girilaya
- Sultan Raja Syamsudin
- Sultan Raja Tajularipin Jamaludin
- Sultan Sepuh Raja Jaenudin
- Sultan Sepuh Raja Suna Moh Jaenudin
- Sultan Sepuh Safidin Matangaji
- Sultan Sepuh Hasanudin
- Sultan Sepuh I
- Sultan Sepuh Raja Samsudin I
- Sultan Sepuh Raja Samsudin II
- Sultan Sepuh Raja Ningrat
- Sultan Sepuh Jamaludin Aluda
- Sultan Sepuh Raja Rajaningrat
- Sultan Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, SH
- Sultan Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat
SILSILAH SULTAN KERATON KECERIBONAN
- Pangeran Pasarean
- Pangeran Dipati Carbon
- Panembahan Ratu Pangeran Dipati Anom Carbon
- Pangeran Dipati Anom Carbon
- Panembahan Girilaya
- Sultan Moh Badridini Kanoman
- Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
- Sultan Anom Alimudin
- Sultan Anom Moh Kaerudin
- Sultan Carbon Kaeribonan
- Pangeran Raja Madenda
- Pangeran Raja Denda Wijaya
- Pangeran Raharja Madenda
- Pangeran Raja Madenda
- Pangeran Sidek Arjaningrat
- Pangeran Harkat Nata Diningrat
- Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
- Gusti Pangeran Raja Adipati Abdul Gani Natadiningrat Dekarangga
SILSILAH PANEMBAHAN CIREBON
- Sunan Gunung Jati Syech Hidayatullah
- Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
- Panembahan Sedang Kemuning
- Panembahan Ratu Cirebon
- Panembahan Mande Gayem
- Panembahan Girilaya
- Pangeran Wangsakerta (Panembahan Cirebon)
- Panembahan Pangeran Jagaraksa
- Panembahan Raden Syech Abdullah
- Panembahan Raden Syech Kalibata
- Panembahan Raden Syech Moch. Abdurrohman
- Panembahan Raden Syech Moch. Yusuf
- Panembahan Raden Moch. Abdullah
- Panembahan Raden Moch. Sholeh
- Panembahan Raden K.H Moch. Syafe’i
- Panembahan Raden K.H Moch. Muskawi
- Panembahan Raden H. Moch. Parma
- Panembahan Raden H. Moch. Salimmudin
MAKOM-MAKOM KERAMAT SEPUTAR PAJAJAR
Pesanggrahan Prabu Siliwangi
Pajajar Rajagluh, dikelilingi makom-makom tua yang dikeramatkan penduduk
sehubungan dengan sejarah Desa Pajajar. Sesuai denga Uga/wangsit Prabu
Siliwangi, sebelum Prabu Siliwangi moksa, Sang Prabu memberikan empat pilihan
kepada rakyatnya. pilihan yang pertama ikut moksa bersamanya, kedua mengabdi
kepada negara yang sedang berjaya yang pada waktu itu adalah cirebon, sumedang
larang dan banten lama. Pilihan ketiga adalah tetap di tempat semula walau
keadaan akan berubah tak seperti sebelumnya, dan yang terakhir adlah yang tidak
memilih ketiga-tiganya, golongan ini adalah golongan pengembara yang akan
berpindah pindah tempat.
Mereka yang memilih untuk tetap menetap di tempat semula inilah yang akhirnya membuka perkampungan baru dan membuka sawah ladang sekaligus jadi pemelihara situs peninggalan Prabu siliwangi yang ditinggalkan moksa. Seiring waktu karena jasa-jasanya maka kuburannya pun dikeramatkan warga sebegai bentuk penghormatan.
Berikit adalah makom-makom keramat seputar Pesanggrahan Prabu Siliwangi Pajajar.
MAKOM MBAH BUYUT ARJUNA
Makom ini sebenarnya adalah petilasan bertapanya Arjuna, yang kalau dirunut dari sejarah babad pajajaran persi Cirebon, Prabu Siliwangi adalah ketururan dari Pandawa jadi tak heran jika Prabu Siliwangi mendirikan Pesanggrahan dekat dengan leluhurnya.
Mereka yang memilih untuk tetap menetap di tempat semula inilah yang akhirnya membuka perkampungan baru dan membuka sawah ladang sekaligus jadi pemelihara situs peninggalan Prabu siliwangi yang ditinggalkan moksa. Seiring waktu karena jasa-jasanya maka kuburannya pun dikeramatkan warga sebegai bentuk penghormatan.
Berikit adalah makom-makom keramat seputar Pesanggrahan Prabu Siliwangi Pajajar.
MAKOM MBAH BUYUT ARJUNA
Makom ini sebenarnya adalah petilasan bertapanya Arjuna, yang kalau dirunut dari sejarah babad pajajaran persi Cirebon, Prabu Siliwangi adalah ketururan dari Pandawa jadi tak heran jika Prabu Siliwangi mendirikan Pesanggrahan dekat dengan leluhurnya.
MAKOM MBAH GORA DAN MBAH
NAMBANG KEMUNING
Mbah Gora adalah seorang tokoh di Pajajar yang merupakan salah satu penyebar agama islam yang sejaman dengan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon Girang. Sahabat seperjuangan beliau adalah Mbah Buyut Bungsu, Mbah Buyut Tajug dan Mbah Buyut Saca.
Beliau dimakamkan di tengah-tengah pemakaman umum Pajajar, dan diberi cungkup yang bisa dimasuki beberapa orang pejiarah.
Walau di sato komplek yang sama tapi Makom Mbah Nambang Kemuning tidak memakai cungkup seperti makom mbah Gora. Bentuk kuburnya seperti kubur pada umumnya yang membedakan hanya bentuknya yang lebih besar dari makam penduduk yang lainya.
MAKOM MBAH BUYUT BUNGSU
Letaknya tak begitu jauh dari makomnya Mbah Gora, tepatnya sebelah utara dari makom mbah Gora. Beliau sangat berperan dalam penentuan batas wilayah desa Pajajar. Cungkup makom yang sederhana di tengah-tengah rimbunan pohon yang sudah berumur puluhan tahun, memberikan kesan mistik yang kental.
MAKOM MBAH BUYUT TAJUG
Mbah Buyut Tajug adalah kuwu ke dua di pajajar, sementara yang pertamanya adalah mbah buyut Saca. Letak makom mbah Buyut Tajug sedikit terpencil karena berada di ujung desa dan berada di tengah-tengah persawaan MAKOM MBAH BUYUT SACA
Beliau adalah kuwu pertama di Pajajar. letak makomnya antara makom Mbah Buyut Bungsu dan Mbah Buyut Tajug. Berada diatas bukit kecil yang dimanpaatkan penduduk untuk lahan pembibitan. Bangunan cukup sederhana untuk tokoh yang punya jasabesar bagi desa Pajajar.
MAKOM MBAH BUYUT MASDAR
Mbah Masdar diyakini berasal daari kerajaan kuningan yang datang untuk mengajak tanding pada jago pajajar. Namun seiring kebijakan orang2 pajajar justru Mbah Masdar tertarik untuk menetap di Pajajar sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di hutan plalangon. Kesan mistisnya cukup kuat walau makamnya tidak bercungkup. Tunpukan batubatu yang sudah berusia tua membentuk kuburan yang tertutup rindangnya pepohonan yang sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun.
Letaknya sejajar antara bukit tempat mbah Bungsu dimakamkan, yang hanya berjarak ratusan meter.
MAKOM MBAH BUYUT POKEK
Mbah buyut Pokek adalah sabutan untuk Mbah Buyut Haji Wanasari. Baliau adalah seorang pendatang dari jajirah arab yang ikut perjuangan Mbah Gora menyebarkan agama islam di daerah Pajajar. Bangunan cungkup makomnya sudah di buat permanen yang cukup memadai. Letaknya diatas sebuah bukit kecil dengan pohonan yang cukup rindang dan lebat. Walau tak jauh dari rumah penduduk tapi kesan mistisnya cukup kental untuk mereka yang suka bertirakat.
Selain makom-makom diatas ada juga makom yang lain yang dikeramatkan dan sering di jiarahi yaitu makom mbah Angga Laksana dan Mbah Sulaeman. Keduanya sebenarya bukan termasuk makam tua yang sejaman dengan Makam diatas. Mbah Sulaeman dan Mbah Anggalaksana adalah tokoh Masarakat dijaman kolonial yang ikut berjuang menentang Belanda jadi tidak sejaman dengan makom-makom diatas.Nah, sebelum membahas lebih jauh, Penulis akan bedarkan terlebih dahulu dasar-dasar yang ada pada karomah Ayat Kursy, sehingga dengan pemahaman yang cukup jelas ini anda tidak akan ragu untuk mengamalkannya.
Dalam pandangan ahli kebathinan, Ayat Kursy disebut-sebut pula dengan istilah Ummul Ilmi atau induknya ilmu. Sedangkan menurut Ahli Hikmah menyebut Ayat Kursy sebagai Ummul Mahabbah atau inudknya pengasihan. Sedangkan yang terakhir menurut ahli mistik kejawen, mereka menyebut Ayat Kursy dengan istilah Segoro Ilmu atau lautnya ilmu.Memang, dengan banyaknya manfaat yang terkandung dalam ayat Al kursy, maka tidak heran bila sejak zaman dahulu kala hingga sekarang ini para ahli kebathinan berlomba ingin mendapatkan intisari kekuatannya. Namun bagaimanapun juga, Ilmu Ayatul kursy tidak mudah kita peroleh dangan hanya mengamalkan atau sekedar membacanya. Ilmu Ayatul Kursy ini punya sanad muttasil atau garis silsilah turun temurun yang tetap dijaga, sehingga dengan kemuttasilannya, Ilmu Ayatul Kursy menjadi salah satu ilmu paling mustajabah di muka bumi.
Berikut Penulis akan beberkan sanad atau silsilah turun temurun amalan Ayat Kursy yang sampai sekarang masih dilestarikan sehingga akan ada manfaat dan karomahnya.
Pertama kali amalan ini tercetus dari baginda Rasulullah SAW, lalu Beliau mengijazahkannya pada Nabiyullah KHidir AS. Khidir mengijazahkannya kepada tiga orang Quthbul Mutlak, yakni Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani, Syeikh Abil Qosim Al Bagdadi, dan Syeikh Abu Hasan Assyadzili.
Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani mengijazahkan secara ruhaniyyah kepada Syeikh Syarief Hidayatulloh dan Mbah Kuwu Cakra Buana. Syeikh Syarif Hidayatulloh akhirnya mengijazahkan kepada putranya, Pangeran Cirebon.
Nah, dari sini silsilah amalan ini sempat putus dan baru ada setelah selang 154 tahun, yaitu dari Syeikh Abdul Baqir yang menerimanya lewat hawatif yang diberikan langsung oleh Sunan Gunung Jati Cirebon. Akhirnya, dari sinilah amalan ini turun temurun diijzahkan hingga sampai sekarang.
Penulis lanjutan lagi silsilah amalan Ayatul Kursy lewat Syeikh Abdul Baqir, dengan runutan sebagai berikut:
Syeikh Abdul Baqir-Syeihk Majegung Sekti-Syeikh Abdul Lathif-Kan’an bin Nawawi-Muhammad Suyuti- Ahmad Al Idrus-Kyai Bukhori-Kyai Martapada- kyai Jani Kusuma diningrat- Abah Thosin- Abah Inu- Abah Hud- Abah Ilyas-Kyai Burhan- Kyai Nawawi dan yang terakhir adalah Idris Nawawi (Penulis).
Namun, sebagai ta’dzim watahriman atau menghormati para ahlillah, Anda yang ingin melestarikan amalan ini tidak perlu semua pengijazah diatas dibaca, cukup memulai tawassul seperti berikut ini:
- Ila hadrotin nabiyyil musthofa rosulillahi SAW, Al Fatihah 1x.
- Tsumma ila hadroti ashabihi minal ambiya’i wal mursalin wa a khussu khossotan, ila hadrotin nabiyalloh ilal Abbasil Hidir Baliya bin Malkan As, waila hadroti syeikh Muhyiddin Abdul Qodir Al Jaelani Qoddasallohu sirrohuma wa ‘a’ada alaiya mimbarokatihima wakaromatihima wa ulumihima wamiddana bimada dadihima syaiun lillahi lahuma walahum Al Fatihah 3x.
- Tsumma ila hadroti syeikh Syarif Hidayatulloh, wambah Kuwu Cakra Buana, wakhodamus syarifah min ahli masjid agung Kesepuan Cirebon, Qoddasallohu sirrohuma wa ‘a’ada ‘alaiya mimbarokatihima wakaromatihima wa ulumihima wamiddana bimada dadihima syaiun lillahi lahum Al Fatihah 1x.
- Tsumma ila hadroti Abil Qosim Al Bagdadi, waila hadroti Abul Hasan Assyadili, wa Abul Abbas Al Jahri Baliya Bin malkan, waila hadroti syeikh Abdul Qodir Al Jaelani waila hadroti syeikh Syarif Hidayatulloh wambah Kuwu Cakara Buana, wa kyai Bukhori, syaiun lillahi lahum Al Fatihah 7x.
Setelah ini, baca ayat ursy dan sesudahnya berdoa seperti yang Penulis tulis sebelumnya.
Untuk pengamalan ayatul Kursy, paling baik dipuasai selama 41 hari dengan buka dan sahur bilaruhin (tidak makan yang bernyawa). Namun bila tidak kuat dalam melaksanakan puasa yang cukup lama ini, Anda bisa mengurangi puasanya dengan hitungan sebagai berikut: 41/ 31/ 21/ 17/ 11/ 9/ 7 hari. Terserah berapa hari yang Anda mampu dan inginkan. Disini tentunya kekuatan dari karomah yang ada akan bervariasi tergantung lamanya Anda berpuasa.
Tapi yang paling penting dan perlu diingat, berapapun lamanya Anda berpuasa, buka dan sahur harus dengan cara bilaruhin atau tidak makan yang bernyawa. Dan untuk bilangan ayatul Kursy yang harus Anda baca di setiap malam paling sempurna 333x. Tapi bila tidak kuat boleh dengan bilangan yang lebih rendah, yakni: 331x/ 221x/ 121x/ 77x.
Sedangkan doa yang harus dibaca, Anda boleh memilih banyak tidaknya tergantung dari keihlasan hati, yaitu boleh dibaca sebanyak 41x/ 31x/ 21x/ 11x.
Nah, sebagai kesempurnaan dalam melaksanakan ritual Ilmu Ayatul Kursy, amalanya ini harus selalu dibaca secara istikomah setiap pukul 23.00 atau lebih, sampai dengan selesainya puasa.
Bila anda sudah melakukan tirakat yang Penulis sebutkan tadi, Anda bisa buktikan langsung manfaatnya, terutama dalam hal pengasihan. Karena Penulis sendiri sejak tahun 1995 sudah digembleng oleh sang guru, yaitu diharuskan puasa Ilmu Ayatul Kursy selama 41 hari dan diulang sebanyak 3x = 123 hari. Namun sekali lagi Penulis katakan, bahwa kuat tidaknya ilmu ini tergantung dari lama tidaknya Anda berpuasa dan mengamalkannya.
Nah, bagi yang mengikuti puasa 41 hari serta mengamalkan paling banyak, coba buktikan sendiri. Hasilnya pasti luar biasa. Tanpa sadar kita akan bisa berhubungan langsung dengan para goib, bisa mengobati penyakit secara spontan, bisa meracik sarana pengasihan secara permanen, bisa mengisi gaman dan pusaka kapanpun kita mau, bisa mengambil pusaka tanpa harus gerak, dan yang paling mencengangkan dalam manfaat ilmu ini kita akan terus disukai lawan jenis di manapun kita berada.
Kini, semua tergantung para pengamal. Bila Anda sekalian mau mengikuti kesempurnaan dari tirakat yang sudah kami bedarkan di atas, maka Insya Allah hasilnya akan sangat bermanfaat.
Ilmu ini sangat langka dengan sanad atau silsilah lengkap yang keakuratannya masih sangat terjaga, baik dalam hal karomah maupun manfaat lainnya.
Sebagaimana kisah keberhasilan dari salah seorang tokoh pengijazah yang pernah dituliskan dalam biodatanya, yaitu sebuah sanjungan dari kidung Jawa yang dituliskan memakai huruf Arab. Tokoh dimaksud adalah Kyai Burhan, Godong, Demak Jateng (Alm). Dia banyak mengupas tentang kedahsyatan Ayatul Kursy, di antara salah satu tulisannya berbunyi demikian:
“ Ngerti ora ngerti kang pasti gerak ngelakoni, wujud ora ketoro yen ora ngumbeni ilmu, agung pisan ilmu ibu rugi kang akeh cangkem mlumah badan ora gerak. Sejatine ilmu agung kang dadi kedelok, sejatine ilmu wujud kang akeh nyoto keagungan, ora rugi ngumbe ilmu iki kang dadi akhir derajat mulyo ing dunya lan gon mati, ilmu kang kesifatan sempurnane alam, urip saking dadi lan mati saking males, godong ijo kang memantes ,kayu kuat kang dadi jogo, akar atos kang dadi pinguat, ora nana kang dadi sempurna kecuali neng jerone Ayatul Kursy, Ars kang dadi lambang paling duwur, saking keagungan kang maha agung.”
Kurang lebih artinya:
“Mengerti maupun tidak mengerti yang pasti kita harus bisa melaksanakan puasa dan tirakat ilmu Ayatul Kursy, karena bagaimanapun juga ilmu ini tidak akan bisa kita dirasakan apabila hanya berdiam diri, ilmu ini sangat agung sebagaimana ilmu bangsa uluhiyah/ raja, sesungguhnya sangat rugi bagi kita yang hanya mengumbar mulut tapi tidak mau melaksanakan arti tirakat, sejatinya ilmu agung pasti akan tampak segala karomah yang bisa kita perlihatkan secara nyata, sejatinya ilmu yang sangat mustajabah dengan segala keagungan yang bisa diwujudkan, sungguh tidak rugi memiliki ilmu ini dengan tirakat dan penebusan dari badan kita sendiri, sebab ilmu ini akan membawa derajat kita selamat dunya dan akherat, ilmu yang mempunyai sifat sempurna dari semua ilmu yang ada di alam buana, ilmu ini akan terus hidup kecuali bagi orang malas yang tidak mau melaksanakan penebusan puasa dan tirakat, ilmu yang menjadi kesempurnaan, ilmu yang menjadi tameng dari segala marabahaya, ilmu yang menjadi perisai paling kokoh dalam sanubari dan ruhaniyyah kita, karena sesungguhnya tidak ada yang sempurna kecuali karomah ayatul kursy, Ars yang menjadi nama dari ilmu ini dan Ars pula derajat tertinggi dari semua derajat, sesungguhnya ilmu ini sangat agung dari semua yang dianggap agung”
Dalam sejarah hidupnya, Kyai Burhan ini sangat terkenal sekali di kalangan sufi dan ahli taraket Jawa akan derajat kewaliyannya. Semasa hidupnya sang Kyai tidak pernah meninggalkan amalan Ayatul Kursy ini hingga akhir usia. Karena itulah almarhum diberi karomah oleh Allah SWT, lewat wasilah ilmu Ayatul Kursy hingga menjadi seorang yang memiliki kelebihan tinggi, diantaranya: Bisa menciptakan uang secara kontan, bisa merubah daun dan benda lainnya jadi emas, dan yang paling masyhur bisa mendatangkan batu merah delima dalam satu hari sebanyak 110 biji.
Disisi lain, sang Kyai juga terkenal dengan ketepatannya dalam berhitung, seperti saat dia menghitung jatuhnya dedaunan di seluruh wilayah Demak dalam kurun satu hari, waktu itu dengan 2004 personil yang dikerahkan untuk memungut daun yang jatuh sekaligus menghitungnya. Ternyata apa yang diucapkan oleh Kyai Burhan ini sangatlah tepat….
Kini terserah para Pembaca mau tidaknya menjalankan Ilmu Ayatul Kursy yang didalamnya sarat akan manfaat dan faedah. Bagi Anda yang bersungguh sungguh tentunya akan membawa suatu keberuntungan hidup yang lebih baik dikemudian hari
Mbah Gora adalah seorang tokoh di Pajajar yang merupakan salah satu penyebar agama islam yang sejaman dengan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon Girang. Sahabat seperjuangan beliau adalah Mbah Buyut Bungsu, Mbah Buyut Tajug dan Mbah Buyut Saca.
Beliau dimakamkan di tengah-tengah pemakaman umum Pajajar, dan diberi cungkup yang bisa dimasuki beberapa orang pejiarah.
Walau di sato komplek yang sama tapi Makom Mbah Nambang Kemuning tidak memakai cungkup seperti makom mbah Gora. Bentuk kuburnya seperti kubur pada umumnya yang membedakan hanya bentuknya yang lebih besar dari makam penduduk yang lainya.
MAKOM MBAH BUYUT BUNGSU
Letaknya tak begitu jauh dari makomnya Mbah Gora, tepatnya sebelah utara dari makom mbah Gora. Beliau sangat berperan dalam penentuan batas wilayah desa Pajajar. Cungkup makom yang sederhana di tengah-tengah rimbunan pohon yang sudah berumur puluhan tahun, memberikan kesan mistik yang kental.
MAKOM MBAH BUYUT TAJUG
Mbah Buyut Tajug adalah kuwu ke dua di pajajar, sementara yang pertamanya adalah mbah buyut Saca. Letak makom mbah Buyut Tajug sedikit terpencil karena berada di ujung desa dan berada di tengah-tengah persawaan MAKOM MBAH BUYUT SACA
Beliau adalah kuwu pertama di Pajajar. letak makomnya antara makom Mbah Buyut Bungsu dan Mbah Buyut Tajug. Berada diatas bukit kecil yang dimanpaatkan penduduk untuk lahan pembibitan. Bangunan cukup sederhana untuk tokoh yang punya jasabesar bagi desa Pajajar.
MAKOM MBAH BUYUT MASDAR
Mbah Masdar diyakini berasal daari kerajaan kuningan yang datang untuk mengajak tanding pada jago pajajar. Namun seiring kebijakan orang2 pajajar justru Mbah Masdar tertarik untuk menetap di Pajajar sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di hutan plalangon. Kesan mistisnya cukup kuat walau makamnya tidak bercungkup. Tunpukan batubatu yang sudah berusia tua membentuk kuburan yang tertutup rindangnya pepohonan yang sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun.
Letaknya sejajar antara bukit tempat mbah Bungsu dimakamkan, yang hanya berjarak ratusan meter.
MAKOM MBAH BUYUT POKEK
Mbah buyut Pokek adalah sabutan untuk Mbah Buyut Haji Wanasari. Baliau adalah seorang pendatang dari jajirah arab yang ikut perjuangan Mbah Gora menyebarkan agama islam di daerah Pajajar. Bangunan cungkup makomnya sudah di buat permanen yang cukup memadai. Letaknya diatas sebuah bukit kecil dengan pohonan yang cukup rindang dan lebat. Walau tak jauh dari rumah penduduk tapi kesan mistisnya cukup kental untuk mereka yang suka bertirakat.
Selain makom-makom diatas ada juga makom yang lain yang dikeramatkan dan sering di jiarahi yaitu makom mbah Angga Laksana dan Mbah Sulaeman. Keduanya sebenarya bukan termasuk makam tua yang sejaman dengan Makam diatas. Mbah Sulaeman dan Mbah Anggalaksana adalah tokoh Masarakat dijaman kolonial yang ikut berjuang menentang Belanda jadi tidak sejaman dengan makom-makom diatas.Nah, sebelum membahas lebih jauh, Penulis akan bedarkan terlebih dahulu dasar-dasar yang ada pada karomah Ayat Kursy, sehingga dengan pemahaman yang cukup jelas ini anda tidak akan ragu untuk mengamalkannya.
Dalam pandangan ahli kebathinan, Ayat Kursy disebut-sebut pula dengan istilah Ummul Ilmi atau induknya ilmu. Sedangkan menurut Ahli Hikmah menyebut Ayat Kursy sebagai Ummul Mahabbah atau inudknya pengasihan. Sedangkan yang terakhir menurut ahli mistik kejawen, mereka menyebut Ayat Kursy dengan istilah Segoro Ilmu atau lautnya ilmu.Memang, dengan banyaknya manfaat yang terkandung dalam ayat Al kursy, maka tidak heran bila sejak zaman dahulu kala hingga sekarang ini para ahli kebathinan berlomba ingin mendapatkan intisari kekuatannya. Namun bagaimanapun juga, Ilmu Ayatul kursy tidak mudah kita peroleh dangan hanya mengamalkan atau sekedar membacanya. Ilmu Ayatul Kursy ini punya sanad muttasil atau garis silsilah turun temurun yang tetap dijaga, sehingga dengan kemuttasilannya, Ilmu Ayatul Kursy menjadi salah satu ilmu paling mustajabah di muka bumi.
Berikut Penulis akan beberkan sanad atau silsilah turun temurun amalan Ayat Kursy yang sampai sekarang masih dilestarikan sehingga akan ada manfaat dan karomahnya.
Pertama kali amalan ini tercetus dari baginda Rasulullah SAW, lalu Beliau mengijazahkannya pada Nabiyullah KHidir AS. Khidir mengijazahkannya kepada tiga orang Quthbul Mutlak, yakni Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani, Syeikh Abil Qosim Al Bagdadi, dan Syeikh Abu Hasan Assyadzili.
Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani mengijazahkan secara ruhaniyyah kepada Syeikh Syarief Hidayatulloh dan Mbah Kuwu Cakra Buana. Syeikh Syarif Hidayatulloh akhirnya mengijazahkan kepada putranya, Pangeran Cirebon.
Nah, dari sini silsilah amalan ini sempat putus dan baru ada setelah selang 154 tahun, yaitu dari Syeikh Abdul Baqir yang menerimanya lewat hawatif yang diberikan langsung oleh Sunan Gunung Jati Cirebon. Akhirnya, dari sinilah amalan ini turun temurun diijzahkan hingga sampai sekarang.
Penulis lanjutan lagi silsilah amalan Ayatul Kursy lewat Syeikh Abdul Baqir, dengan runutan sebagai berikut:
Syeikh Abdul Baqir-Syeihk Majegung Sekti-Syeikh Abdul Lathif-Kan’an bin Nawawi-Muhammad Suyuti- Ahmad Al Idrus-Kyai Bukhori-Kyai Martapada- kyai Jani Kusuma diningrat- Abah Thosin- Abah Inu- Abah Hud- Abah Ilyas-Kyai Burhan- Kyai Nawawi dan yang terakhir adalah Idris Nawawi (Penulis).
Namun, sebagai ta’dzim watahriman atau menghormati para ahlillah, Anda yang ingin melestarikan amalan ini tidak perlu semua pengijazah diatas dibaca, cukup memulai tawassul seperti berikut ini:
- Ila hadrotin nabiyyil musthofa rosulillahi SAW, Al Fatihah 1x.
- Tsumma ila hadroti ashabihi minal ambiya’i wal mursalin wa a khussu khossotan, ila hadrotin nabiyalloh ilal Abbasil Hidir Baliya bin Malkan As, waila hadroti syeikh Muhyiddin Abdul Qodir Al Jaelani Qoddasallohu sirrohuma wa ‘a’ada alaiya mimbarokatihima wakaromatihima wa ulumihima wamiddana bimada dadihima syaiun lillahi lahuma walahum Al Fatihah 3x.
- Tsumma ila hadroti syeikh Syarif Hidayatulloh, wambah Kuwu Cakra Buana, wakhodamus syarifah min ahli masjid agung Kesepuan Cirebon, Qoddasallohu sirrohuma wa ‘a’ada ‘alaiya mimbarokatihima wakaromatihima wa ulumihima wamiddana bimada dadihima syaiun lillahi lahum Al Fatihah 1x.
- Tsumma ila hadroti Abil Qosim Al Bagdadi, waila hadroti Abul Hasan Assyadili, wa Abul Abbas Al Jahri Baliya Bin malkan, waila hadroti syeikh Abdul Qodir Al Jaelani waila hadroti syeikh Syarif Hidayatulloh wambah Kuwu Cakara Buana, wa kyai Bukhori, syaiun lillahi lahum Al Fatihah 7x.
Setelah ini, baca ayat ursy dan sesudahnya berdoa seperti yang Penulis tulis sebelumnya.
Untuk pengamalan ayatul Kursy, paling baik dipuasai selama 41 hari dengan buka dan sahur bilaruhin (tidak makan yang bernyawa). Namun bila tidak kuat dalam melaksanakan puasa yang cukup lama ini, Anda bisa mengurangi puasanya dengan hitungan sebagai berikut: 41/ 31/ 21/ 17/ 11/ 9/ 7 hari. Terserah berapa hari yang Anda mampu dan inginkan. Disini tentunya kekuatan dari karomah yang ada akan bervariasi tergantung lamanya Anda berpuasa.
Tapi yang paling penting dan perlu diingat, berapapun lamanya Anda berpuasa, buka dan sahur harus dengan cara bilaruhin atau tidak makan yang bernyawa. Dan untuk bilangan ayatul Kursy yang harus Anda baca di setiap malam paling sempurna 333x. Tapi bila tidak kuat boleh dengan bilangan yang lebih rendah, yakni: 331x/ 221x/ 121x/ 77x.
Sedangkan doa yang harus dibaca, Anda boleh memilih banyak tidaknya tergantung dari keihlasan hati, yaitu boleh dibaca sebanyak 41x/ 31x/ 21x/ 11x.
Nah, sebagai kesempurnaan dalam melaksanakan ritual Ilmu Ayatul Kursy, amalanya ini harus selalu dibaca secara istikomah setiap pukul 23.00 atau lebih, sampai dengan selesainya puasa.
Bila anda sudah melakukan tirakat yang Penulis sebutkan tadi, Anda bisa buktikan langsung manfaatnya, terutama dalam hal pengasihan. Karena Penulis sendiri sejak tahun 1995 sudah digembleng oleh sang guru, yaitu diharuskan puasa Ilmu Ayatul Kursy selama 41 hari dan diulang sebanyak 3x = 123 hari. Namun sekali lagi Penulis katakan, bahwa kuat tidaknya ilmu ini tergantung dari lama tidaknya Anda berpuasa dan mengamalkannya.
Nah, bagi yang mengikuti puasa 41 hari serta mengamalkan paling banyak, coba buktikan sendiri. Hasilnya pasti luar biasa. Tanpa sadar kita akan bisa berhubungan langsung dengan para goib, bisa mengobati penyakit secara spontan, bisa meracik sarana pengasihan secara permanen, bisa mengisi gaman dan pusaka kapanpun kita mau, bisa mengambil pusaka tanpa harus gerak, dan yang paling mencengangkan dalam manfaat ilmu ini kita akan terus disukai lawan jenis di manapun kita berada.
Kini, semua tergantung para pengamal. Bila Anda sekalian mau mengikuti kesempurnaan dari tirakat yang sudah kami bedarkan di atas, maka Insya Allah hasilnya akan sangat bermanfaat.
Ilmu ini sangat langka dengan sanad atau silsilah lengkap yang keakuratannya masih sangat terjaga, baik dalam hal karomah maupun manfaat lainnya.
Sebagaimana kisah keberhasilan dari salah seorang tokoh pengijazah yang pernah dituliskan dalam biodatanya, yaitu sebuah sanjungan dari kidung Jawa yang dituliskan memakai huruf Arab. Tokoh dimaksud adalah Kyai Burhan, Godong, Demak Jateng (Alm). Dia banyak mengupas tentang kedahsyatan Ayatul Kursy, di antara salah satu tulisannya berbunyi demikian:
“ Ngerti ora ngerti kang pasti gerak ngelakoni, wujud ora ketoro yen ora ngumbeni ilmu, agung pisan ilmu ibu rugi kang akeh cangkem mlumah badan ora gerak. Sejatine ilmu agung kang dadi kedelok, sejatine ilmu wujud kang akeh nyoto keagungan, ora rugi ngumbe ilmu iki kang dadi akhir derajat mulyo ing dunya lan gon mati, ilmu kang kesifatan sempurnane alam, urip saking dadi lan mati saking males, godong ijo kang memantes ,kayu kuat kang dadi jogo, akar atos kang dadi pinguat, ora nana kang dadi sempurna kecuali neng jerone Ayatul Kursy, Ars kang dadi lambang paling duwur, saking keagungan kang maha agung.”
Kurang lebih artinya:
“Mengerti maupun tidak mengerti yang pasti kita harus bisa melaksanakan puasa dan tirakat ilmu Ayatul Kursy, karena bagaimanapun juga ilmu ini tidak akan bisa kita dirasakan apabila hanya berdiam diri, ilmu ini sangat agung sebagaimana ilmu bangsa uluhiyah/ raja, sesungguhnya sangat rugi bagi kita yang hanya mengumbar mulut tapi tidak mau melaksanakan arti tirakat, sejatinya ilmu agung pasti akan tampak segala karomah yang bisa kita perlihatkan secara nyata, sejatinya ilmu yang sangat mustajabah dengan segala keagungan yang bisa diwujudkan, sungguh tidak rugi memiliki ilmu ini dengan tirakat dan penebusan dari badan kita sendiri, sebab ilmu ini akan membawa derajat kita selamat dunya dan akherat, ilmu yang mempunyai sifat sempurna dari semua ilmu yang ada di alam buana, ilmu ini akan terus hidup kecuali bagi orang malas yang tidak mau melaksanakan penebusan puasa dan tirakat, ilmu yang menjadi kesempurnaan, ilmu yang menjadi tameng dari segala marabahaya, ilmu yang menjadi perisai paling kokoh dalam sanubari dan ruhaniyyah kita, karena sesungguhnya tidak ada yang sempurna kecuali karomah ayatul kursy, Ars yang menjadi nama dari ilmu ini dan Ars pula derajat tertinggi dari semua derajat, sesungguhnya ilmu ini sangat agung dari semua yang dianggap agung”
Dalam sejarah hidupnya, Kyai Burhan ini sangat terkenal sekali di kalangan sufi dan ahli taraket Jawa akan derajat kewaliyannya. Semasa hidupnya sang Kyai tidak pernah meninggalkan amalan Ayatul Kursy ini hingga akhir usia. Karena itulah almarhum diberi karomah oleh Allah SWT, lewat wasilah ilmu Ayatul Kursy hingga menjadi seorang yang memiliki kelebihan tinggi, diantaranya: Bisa menciptakan uang secara kontan, bisa merubah daun dan benda lainnya jadi emas, dan yang paling masyhur bisa mendatangkan batu merah delima dalam satu hari sebanyak 110 biji.
Disisi lain, sang Kyai juga terkenal dengan ketepatannya dalam berhitung, seperti saat dia menghitung jatuhnya dedaunan di seluruh wilayah Demak dalam kurun satu hari, waktu itu dengan 2004 personil yang dikerahkan untuk memungut daun yang jatuh sekaligus menghitungnya. Ternyata apa yang diucapkan oleh Kyai Burhan ini sangatlah tepat….
Kini terserah para Pembaca mau tidaknya menjalankan Ilmu Ayatul Kursy yang didalamnya sarat akan manfaat dan faedah. Bagi Anda yang bersungguh sungguh tentunya akan membawa suatu keberuntungan hidup yang lebih baik dikemudian hari
SEJARAH JALAN
KARANGGETAS CIREBON
Sejarah singkat syekh
magelung sakti ;Syekh Magelung Sakti adalah seorang ulama yang
berpenampilan sangat khas yaitu kerap menggelung rambut panjangnya kemana-mana.
Perihal rambut panjangnya ini konon tak pernah dipotong karena memang tak ada
satu pisau cukur pun yang mampu memotong rambutnya yang panjang itu. Maka dari
itulah kemudian ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari
orang sakti yang mampu memotong rambutnya. Beliau bernazar barang siapa yang
mampu memotong rambut panjangnya itu maka Sang Syekh akan rela dan senang hati
menyerahkan diri menjadi murid orang tersebut. Nama asli dari Syekh Magelung
Sakti ini sendiri konon adalah Syarif Syam yang berasal dari negeri Syam yang
sekarang dikenal sebagai Syiria. Tapi ada juga versi lain yang mengatakan bahwa
sebenarnya Syekh Magelung Sakti merupakan seorang ulama kelahiran negeri Yaman.
Konon waktu itu, Syarif Syam atau Magelung Sakti datang ke Cirebon untuk mencari seorang guru yang pernah ditunjukkan di dalam mimpinya. Dalam mimpinya tersebut bahwa satu-satunya orang yang sanggup memotong rambutnya adalah seorang wali yang bermukim di Cirebon. Dan benar saja, ketika di Cirebon inilah beliau bertemu dengan orang tua yang dengan mudahnya memotong rambut beliau. Tempat dimana rambut Syarif Syam berhasil dipotong kemudian diberi nama Karanggetas. Orang tua itu yang kemudian belakang diketahui bernama Sunan Gunung Jati pun sesuai dengan nazarnya akhirnya menjadi guru dari Syekh Magelung Sakti dan berganti nama menjadi Pangeran Soka. Selepas menjadi murid Sunan Gunung Djati, Syekh Magelung Sakti atau Pangeran Soka kemudian ditugaskan oleh gurunya tersebut untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon bagian Utara.
Selain nama Syekh Magelung Sakti dan Pangeran Soka beliau pun memiliki begitu banyak nama alias yang diantaranya adalah Pangeran Karangkendal. Nama Pangeran Karangkendal sendiri ia dapat karena ketika sekitar abad XV saat beliau ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Utara, ia tinggal di Desa Karangkendal, Kapetakan (± 19 km sebelah Utara Cirebon). Di desa ini pun Syekh Magelung Sakti kemudian diangkat anak oleh penguasa atau gegeden Karangkendal yang bernama Ki Tarsiman yang mempunyai nama lain Ki Krayunan atau Ki Gede Karangkendal, bahkan disebut pula dengan julukan Buyut Selawe, karena mempunyai 25 anak dari istrinya yang bernama Nyi Sekar.
Syekh Magelung Sakti sendiri merupakan suami dari seorang istri yang tak kalah memiliki nama besar di wilayah Cirebon yakni Nyi Mas Gandasari. Perihal menikahnya Syekh Magelung Sakti dengan Nyi Mas Gandasari menurut cerita dan babad Cirebon adalah berawal dari ditugaskannya sang syekh oleh Sunan Gunung Jati untuk berkeliling ke arah barat Cirebon selepas ia selesai mempelajari ilmu tassawuf dari gurunya tersebut. Nah, ketika berkeliling ke wilayah Barat Cirebon inilah Syekh Magelung Sakti mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari yang sedang mencari pasangan hidupnya.
Nyi Mas Gandasari konon adalah anak angkat dari Ki Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon yang waktu itu dikenal juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Hindu Pajajaran), yang atas desakan dari ayah angkatnya ini Nyi Mas Gandasari harus segera menikah. Dan karena beliau merupakan seorang perempuan cantik yang pilih tanding, maka dalam mencari pasangan hidup itu ia mengadakan sayembara, barang siapa yang mampu mengalahkannya maka dia akan bersedia menjadi istri dari orang yang berhasil mengalahkannya dalam adu kesaktian tersebut.
Oleh karenanya kemudian ia pun mengadakan sayembara untuk maksud tersebut, sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa dipersilakan berupaya menjajal kemampuan kesaktian sang putri. Siapapun yang sanggup mengalahkannya dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak diantaranya pangeran dan ksatria yang mencoba mengikuti sayembara tetapi tidak ada satu pun yang berhasil, hingga akhirnya Syekh Magelung Sakti terjun ke arena sayembara. Pada dasarnya kemampuan dan kesaktian dari keduanya berimbang, hanya saja karena faktor kelelahan akhirnya Nyi Mas Gandasari pun menyerah dan berlindung dibalik punggung Sunan Gunung Jati.
Namun, meski Nyi Mas Gandasari sudah berlindung dibalik punggung Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung Sakti masih tetap saja menyecarnya dengan serangan-serangan mematikan hingga dalam satu kesempatan tinju sang Syekh hampir saja mengenai kepala dari Sunan Gunung Jati. Tetapi, anehnya sebelum tinju itu mendarat di kepala Sunan Gunung Jati, dengan serta merta Syekh Magelung Sakti jatuh lemas. Sunan Gunung jati pun akhirnya memutuskan bahwa dalam pertempuran tersebut tidak ada yang kalah ataupun menang. Meskipun begitu, Sunan Gunung Jati tetap menikahkan keduanya dan mereka pun akhirnya resmi menjadi suami istri.
Konon waktu itu, Syarif Syam atau Magelung Sakti datang ke Cirebon untuk mencari seorang guru yang pernah ditunjukkan di dalam mimpinya. Dalam mimpinya tersebut bahwa satu-satunya orang yang sanggup memotong rambutnya adalah seorang wali yang bermukim di Cirebon. Dan benar saja, ketika di Cirebon inilah beliau bertemu dengan orang tua yang dengan mudahnya memotong rambut beliau. Tempat dimana rambut Syarif Syam berhasil dipotong kemudian diberi nama Karanggetas. Orang tua itu yang kemudian belakang diketahui bernama Sunan Gunung Jati pun sesuai dengan nazarnya akhirnya menjadi guru dari Syekh Magelung Sakti dan berganti nama menjadi Pangeran Soka. Selepas menjadi murid Sunan Gunung Djati, Syekh Magelung Sakti atau Pangeran Soka kemudian ditugaskan oleh gurunya tersebut untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon bagian Utara.
Selain nama Syekh Magelung Sakti dan Pangeran Soka beliau pun memiliki begitu banyak nama alias yang diantaranya adalah Pangeran Karangkendal. Nama Pangeran Karangkendal sendiri ia dapat karena ketika sekitar abad XV saat beliau ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Utara, ia tinggal di Desa Karangkendal, Kapetakan (± 19 km sebelah Utara Cirebon). Di desa ini pun Syekh Magelung Sakti kemudian diangkat anak oleh penguasa atau gegeden Karangkendal yang bernama Ki Tarsiman yang mempunyai nama lain Ki Krayunan atau Ki Gede Karangkendal, bahkan disebut pula dengan julukan Buyut Selawe, karena mempunyai 25 anak dari istrinya yang bernama Nyi Sekar.
Syekh Magelung Sakti sendiri merupakan suami dari seorang istri yang tak kalah memiliki nama besar di wilayah Cirebon yakni Nyi Mas Gandasari. Perihal menikahnya Syekh Magelung Sakti dengan Nyi Mas Gandasari menurut cerita dan babad Cirebon adalah berawal dari ditugaskannya sang syekh oleh Sunan Gunung Jati untuk berkeliling ke arah barat Cirebon selepas ia selesai mempelajari ilmu tassawuf dari gurunya tersebut. Nah, ketika berkeliling ke wilayah Barat Cirebon inilah Syekh Magelung Sakti mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari yang sedang mencari pasangan hidupnya.
Nyi Mas Gandasari konon adalah anak angkat dari Ki Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon yang waktu itu dikenal juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Hindu Pajajaran), yang atas desakan dari ayah angkatnya ini Nyi Mas Gandasari harus segera menikah. Dan karena beliau merupakan seorang perempuan cantik yang pilih tanding, maka dalam mencari pasangan hidup itu ia mengadakan sayembara, barang siapa yang mampu mengalahkannya maka dia akan bersedia menjadi istri dari orang yang berhasil mengalahkannya dalam adu kesaktian tersebut.
Oleh karenanya kemudian ia pun mengadakan sayembara untuk maksud tersebut, sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa dipersilakan berupaya menjajal kemampuan kesaktian sang putri. Siapapun yang sanggup mengalahkannya dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak diantaranya pangeran dan ksatria yang mencoba mengikuti sayembara tetapi tidak ada satu pun yang berhasil, hingga akhirnya Syekh Magelung Sakti terjun ke arena sayembara. Pada dasarnya kemampuan dan kesaktian dari keduanya berimbang, hanya saja karena faktor kelelahan akhirnya Nyi Mas Gandasari pun menyerah dan berlindung dibalik punggung Sunan Gunung Jati.
Namun, meski Nyi Mas Gandasari sudah berlindung dibalik punggung Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung Sakti masih tetap saja menyecarnya dengan serangan-serangan mematikan hingga dalam satu kesempatan tinju sang Syekh hampir saja mengenai kepala dari Sunan Gunung Jati. Tetapi, anehnya sebelum tinju itu mendarat di kepala Sunan Gunung Jati, dengan serta merta Syekh Magelung Sakti jatuh lemas. Sunan Gunung jati pun akhirnya memutuskan bahwa dalam pertempuran tersebut tidak ada yang kalah ataupun menang. Meskipun begitu, Sunan Gunung Jati tetap menikahkan keduanya dan mereka pun akhirnya resmi menjadi suami istri.
Terpotongnya Rambut Syeikh Magelung Sakti Berbeda dengan yang lain, ternyata, rambut Arifin Syam yang akhirnya dikenal sebagai Mohammad Syam Magelung Sakti, tak pernah bisa dipotong sejak lahir
BERrbeda dengan anak-anak seusianya, Arifin Syam, yang namanya diambil dari kota tempatnya dibesarkan, negara Syam, tergolong bocah yang jenius, tak salah jika pada usia 7 tahun, di kalangan guru dan Para pendidiknya ia telah menyandang panggilan sebagai sufi cilik. Agaknya inilah yang menyebabkan kenapa di kala itu ia menjadi anak yang diperebutkan di kalangan guru besar di seluruh negara bagian Timur Tengah, bahkan di usia 11 tahun, ia telah mampu menempatkan posisinya sebagai pengajar termuda di berbagai tempat ternama, misalnya Madinah, Makkah, istana raja Mesir, Masjidil Agso, Palestina, dan berbagai tempat ternama lainnya.
Walau begitu, ia banyak dihujat oleh ulama fukkoha, maklum, kian hari rambutnya kian memanjang tak terurus, sehingga dalam pandangan para ahlul fikokkha, Arifin Syam, terkesan bukan sebagai seorang pelajar sekaligus pengajar religius yang selalu mengedepankan tatakrama. Pelecehan dan hinaan yang kerap diterimanya, membuat Arifin Syam mengasingkan diri selama beberapa tahun di salah satu goa di daerah Haram, Mekah.
Sejatinya bukan karma Arifim Syam tak mau mencukur rambutnya yang lambat laun jatuh menjuntai ke tanah, tapi apa daya, walau telah ratusan bahkan ribuan kali berikhtiar ke belahan dunia lain, tetapi, ia belum pemah mendapatkan seseorang yang mampu memotong rambutnya itu. Menurut tutur yang berkembang, sejak dilahirkan ke alam dunia, rambut Arifin Syam memang sudah tidak bisa dipotong oleh sejenis benda tajam apapun. Dan kisah ini terus berlanjut hingga dirinya mencapai usia 40 tahun.Dan pada usia 30 tahun, Arifin Syam diambil oleh istana Mesir untuk menjadi panglima perang dalam mengalahkan pasukan Romawi dan Tartar. Dari sinilah namanya mulai masyhur di kalangan masyarakat luas sebagai panglima perang tersakti di antara para panglima perang yang ada sebelumnya. Betapa tidak, jika kala itu kepiawaian seorang panglima perang bisa terlihat pada saat mengatur strategi perang serta keandalannya memainkan pedang, tombak serta ketepatan dalam memanah. Berbeda dengan Arifin Syam yang akhimya dikenal dengan sebutan Panglima Mohammad Syam Magelung Sakti, ia selalu mengibaskan rambutnya yang panjang dan keras mirip kawat baja ke arah musuh-musuhnya. Akibatnya sudah dapat diduga, para musuh tak ada yang berani mendekat, dan lari pontang-panting karenanya. Sampai di usia 32 tahun, selama 12 tahun kemasyhurannya sebagai sosok panglima perang berambut sakti itu benar-benar tak tertandingi. Hingga pada usia 34 tahun ia bertemu langsung dengan Nabiyulloh Hidir AS, yang mengharuskannya mencari guru mursyid sebagai pembimbingnya untuk menuju maqom kewalian kamil.
Dan tanpa banyak pertimbangan, ia langsung meninggalkan istana raja Mesir yang saat itu benar-benar amat membutuhkan tenaganya. Tak hanya itu, bahkan ia juga rela meninggalkan seluruh murid-rnuridnya yang ingin lebih mengenal atau mendalami ilmu-ilmu Allah SWT. ‘Ya .. saat itu, namanya memang sudah sangat mahsyur di kalangan ahli Sufi sebagai sosok yang sangat paham akan ilmu Allah secara menyeluruh (waliyulloh).
Dengan perbekalan secukupnya dan berteman ratusan kitab, Mohammad Syam Magelung Sakti pun mulai mengarungi belahan dunia dengan menggunakan jukung (sejenis perahu kecil bercadik). Dalarn perjalanan kali ini, ia pun mulai
singgah dan bahkan mendatangi beberapa ulama terkenal untuk menerimanya sebagai murid, di antaranya adalah Syeikh Dzatul Ulum, Libanon, Syeikh Attijani, Yaman bagian Selatan, Syeikh Qowi bin Subhan bin Arsy, Beirut, Syeikh Assamargondi bin Zubair bin Hasan, India; Syeikh Muaiwiyyah As- Salam, Malaita, Syeikh Mahmud, Yarussalem, Syeikh Zakariyya bin Salam bin Zaab;
Tunisia, Syeikh Marwan bin Sofyan Siddrul Muta’alim, Campa, dan masih banyak yang lainnya. Tapi, walau begitu banyak Para waliyulloh yang didatangi, tapi, tak satupun di antara mereka yang mau menerimanya. Bahkan, hampir semuanya berkata, “Sesungguhnya akulah yang meminta agar menjadi muridmu wahai sang Waliyulloh. “
Dengan perasaan kecewa yang teramat mendalam, akhimya, beliau pun mulai meninggalkan mereka untuk terus mencari guru mursyid yang diinginkannya. Waktu terus berjalan pada porosnya, hingga suatu hari, beliau bertemu dengan seorang pertapa sakti bangsa Sanghyang yang bemama Resi Purba Sanghyang Dursasana Prabu Kala Sengkala, diperbatasan selat Malaka. “Wahai Kisanak, datanglah ke pulau Jawa. Sesungguhnya disana telah hadir seorang pembawa kebajikan bagi seluruh waliyulloh, benamkan hati dan pikiranmu di telapak kakinya, sesungguhnya beliau mengungguli semua waliyulloh yang ada,” katanya dengan santun.
Mendengar itu, beliau sangat senang dan seketika minta diri untuk langsung melanjutkan perjalanannya menuju ke Pulau Jawa. Dan setibanya di pesisir Pulau Jawa, beliau pun singgah di suatu pedesaan sambil tiada hentinya bertafakur memohon kepada Allah SWT agar dirinya dapat dipertemukan dengan mursyid yang selama ini diimpi-impikannya. Dan tepat pada malam Jum’at Kliwon, di tengah keheningan malam, tiba-tiba beliau dikejutkan oleh uluk salam dari seseorang “Assalamu’alaikum Ya Akin ‘min ahli wilayah.” Dengan serta merta dan sedikit gugup, beliau pun menjawabnya, “Waalaikum’salam Ya Nabiyulloh Hidir AS yang telah membawaku ke pintu Rohmatallil’alamin,
“Lima tahun sudah mencari ridhoku dan kini ananda telah mendapatkannya. Untuk itu datanglah segera ke kota Cirebon, temuilah Syarif Hidayatulloh. Sesungguhnya dialah yang mempunyai derajat raja dengan maqom Quthbul Muthlak,” terang Nabiyulloh Hidir AS, sambil menghilang dari pandangannya.
Tak perlu berlama-lama, dengan semangat yang menggebu beliau pun langsung mengayuh jukung-nya menuju Cirebon. Sementara, di tempat lain, lewat maqom-nya Syarif Hidayatulloh atau Sunan Gunung Jati sudah mengetahui kedatangan Mohammad Syam Magelung Sakti. Seketika, beliau langsung mengutus uwak sekaligus mertuanya, Mbah Kuwu Cakra Buana untuk menjemput tamunya di pelabuhan Cirebon.
Singkat cerita, setibanya di tempat pertemuan yang telah ditentukan oleh Sunan Gunung Jati, Mbah Kuwu sengaja tidak langsung menghadapkan tamunya kepada Syarif Hidayatulloh tetapi mengujinya terlebih dahulu. Dalam pemahaman ilmu Tauhid, hal semacam ini biasa dikenal dengan Tahkikul ‘Ubudiyyah FissifatirRobbaniah yang artinya adalah meyakinkan tingkat ke-walian seseorang dan Nur Robbani yang dipegangnya.
Manakala sang tamu Mohammad Syam Magelung Sakti berhadapan dengan Mbah Kuwu Cakra Buana, beliau pun langsung uluk salam dan bertanya, “Wahai Kisanak, tahukah Andika di mana saya bisa bertemu dengan Sunan Gunung Jati?”
Alih-alih dijawab, Mbah Kuwu malah balik bertanya, “Sudahkah Kisanak mendirikan sholat Dhuhur setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh itu?”
Mohammad Syam langsung mengangguk dan mengakui bahwa dirinya memang belum melaksanakan sholat Dhuhur. Mbah Kuwu pun langsung mengambil satu bumbung (mas bambu-Ted) kecil dan berkata “Masuk dan sholat-lah berjamaah denganku’.
Sambil terheran-heran, Mohammad Syam mengikuti langkah-manusia aneh di hadapannya yang tak lain adalah Mbah Kuwu Cakra Buana, dan masuk ke dalam bumbung – yang di dalamnya ternyata sangat luas dan terdapat sebuah musholla besar yang sangat anggun.
Seusai mendirikan sholat Dhuhur, Mbah Kuwu pun mengajak tamunya menuju kota Cirebon. Tetapi, sebelum sampai di tujuan, atas hawatif yang diterimanya dari Sunan Gunung Jati, Mbah Kuwu langsung memotong rambut tamunya dan seketika menghilang dan hadapan Mohammad Syam Magelung Sakti. Tahu rambutnya telah terpotong, Mohammad Syam Magelung Sakti berkeyakinan bahwa manusia tadi (sejatinya adalah Mbah Kuwu), pastilah Sunan Gunung Jati. Dengan serta merta, beliau langsung memanggilnya tiada henti ….
Kini, tempat terpotongnya rambut Syeikh Magelung Sakti, masih dilestarikan sebagai nama salah satu desa, yakni Desa Karang Getas, yang letaknya di sebelah selatan Kantor Walikota Cirebon. Dan tahukah Anda berapa panjang rambut Syeikh Magelung Sakti, sesungguhnya? Temyata, 340 m, atau sepanjang Jalan Karang Getas, antara perbatasan Desa Pagongan hingga lampu merah Pasar Kanoman. Dan panjang rambut Syeikh Magelung Sakti ini sudah mendapat persetujuan sekaligus restu dari beberapa ulama khosois, misalnya, Syeikh Aulya’ Nur Ali, Syeikh Kamil Ahmad Trusmi, Syeikh Ahmad Sindang Laut, SyeikhAsnawi bin Subki Gedongan.
Karena tak mendapat sahutan, maka, dengan bersemangat Mohammad Syam terus mencari keberadaan Sunan Gunung Jati yang dianggapnya sudah mampu memotong rambutnya itu hingga sampai pada suatu tempat, dan tanpa sadar beliau masuk di tengah-tengah kerumunan orang yang sedang mengikuti perlombaan untuk mendapatkan seorang putri nan cantik jelita, Nyimas Gandasari Panguragan. Tanpa sadar, kakinya yang terus melangkah itu masuk ke tengah-tengah arena.
Mengetahui ada lawan baru yang masuk ke arena, seketika, Nyimas Gandasari pun langsung menyerangnya. Mendapatkan dirinya diserang secara mendadak, Mohammad Syam pun langsung mengelak dan mencoba menjauhkan diri. Belum sempat bertanya lebih jauh, Nyimas Gandasari yang kala itu sedang diperebutkan para jawara dan berbagai pelosok daerah sangat tersinggung dengan ulahnya yang terus menghindar kembali melakukan serangan beruntun. Dengan perasaan dongkol, akhimya, Mohammad Syam memutuskan untuk melayani
lawannya dengan bersungguh hati. Menurut tutur, puluhan bahkan ratusan jurus maut telah dikeluarkan., Lama kelamaan, merasa kesaktiannya masih, berada di bawah pemuda asing yang
sedang dihadapinya, maka, dengan sekali loncatan Nyimas Gandasari pun berucap”Ya Kanjeng Susuhunan Sunan Gunung Jati, Yajabarutihi ila sulthonil alam, Kun Fayakun Lailaha Illalloh Muhammad Rosululloh,” badannya langsung terbang ke awang-awang dengan harapan sang lawan tak mampu mengejamya.
Berbeda dengan Mohammad Syam, mendengar nama Sunan Gunung Jati disebut, sontak hatinya tercekat. Beliau yakin, lawannya past tahu keberadaan manusia pilihan yang tengah dicarinya itu. Dan tanpa menemui banyak kesulitan, beliau langsung dapat menyusul Nyimas Gandasan bahkan berhasil menangkap tangan kanannya. Dengan panik, akhimya, Nyimas Gandasari berhasil melepaskan pegangan sang lawan dan tubuhnya pun menukik tajam pada saat yang sama, Sunan Gunung Jati yang sedang tafakkur di sungai Kalijaga, kedatangan Nyimas Gandasari dengan wajah pucat pasi sambil menuding ke arah sang lawan. Ia memohon kepada gurunya agar si pemuda yang mengejamya tidak melihat keberadaannya.
Dengan izin Allah SWT, dalam hitungan detik, tubuh Nyimas Gandasari berubah menjadi kecil dan bersembunyi di bawah bakiak (terompah terbuat dari kayu) Kanjeng Sunan Gunung Jati yang serta merta bertanya pada pemuda yang baru saja ada di hadapannya, “Wahai Kisanak, apa yang Andika cari di tempat yang sepi ini?
Dengan santun, Mohammad Syam pun menjawab, “Mohon maaf Kisanak, sesungguhnya saya datang ke tempat ini untuk mencari seorang gadis dan meminta bantuannya agar dapat bertemu dengan Sunan Gunung Jati “
Sambil tersenyum, akhimya Sunan Gunung Jati mengembalikan wujud Nyimas Gandasari dan mengingatkan agar yang bersangkutan memenuhi janjinya untuk menikah dengan orang yang mampu mengalahkan kesaktiannya. Dalam perjalanan ini, akhimya Mohammad Syam berganti nama menjadi Pangeran Soka. Dan di penghujung cerita Pangeran Soka dan Nyimas Gandasari akhirriya berikrar untuk meneruskan perjalanan hidupnya menuju ilmu tuhid yang lebih matang hingga mereka berdua mufakat menjalankan nikah bisirri tanpa hubungan badan layaknya suami istri, namun akan bersatu dengan Nikah Hakikiyah kelak di alam surga dengan disaksikan langsung oleh Sunan Gunung Jati Min Quthbil Muthlak ila Jami’il Waliyulloh,
Sejarah asal usul desa bedulan cirebon
SEJARAH DESA BEDULAN / SURANENGGALA CIREBON Sejarah Bedulan berawal padatahun 1556 yang saat itu tanah bedulan masih merupakan hutan rimba yang tak berpenghuni dan dibawah kekuasaan kerajaan cirebon yang saat itu kerajaan cirebon diperintah oleh Sunan gunung jati atau yang bergelar Syehk Syarif Hidayatullah dan pada saat itu kerajaan cirebon
merupakan kerajaan islam pertama di jawa barat sehingga cirebon membina hubungan diplomatic dengan demak yang saat itu merupakan kerajaan islam terbesar di tanah jawa. Adanya keterkaitan Sejarah antara babad bedulan dengan astana gunung jati Sehubungan dengan direbutnya wilayah Jakarta atau saat itu yang bernama sundakelapa oleh portugis pada tahun 1561 Masehi maka kerajaan demak yang saat itu diperintah oleh raden patah sangat kawatir dengan portugis sehingga kerajaan demak memerintahkan seorang panglimanya yang bernama patahillah dengan sekitar 30,000 tentaranya untuk mengusir portugis dari sundah kelapa yang saat itu dirubah namanya oleh portugis Menjadi Repoblik Batav atau yang lebih dikenal
dengan nama Batavia. Sehubungan dengan itu maka kesempatan itu tidak dilewatkan oleh pihak cirebon untuk membantu pihak demak yang ingin menyerang sunda kelapa karena pihak Cirebon pun merasa terancam dengan adanya portugis di sunda kelapa saat itu sehingga pada tahun 1562 pihak kerajaan cirebon mengutus seorang panglima wanita yang bernama Nyi,Mas Baduran untuk menyiapkan sebuah tempat yang akan di gunakan sebagai persinggahan sementara pasukan demak yang akan menyerang Batavia,Sehingga diutuslah Nyi,Mas Baduran untuk menyiapkan tempat persinggahan tersebut dan dengan seizin dari Mbah Kuwu Cirebon atau pangeran Walang Sungsang bahwa Nyi,Mas Baduran di persilahkan menebang hutan yang tak
bertuan yang terletak di sebelah utara pelabuhan muara jati atau yang sekarang Wilayah celangcangdan sebelum berangkat Nyi,Mas Baduran di bekali jimat oleh Mbah Kuwu
Cirebon Berupa Selendang Yang menurut mbah kuwu selendang itu Nyi,Mas Baduran akan sangat berguna dalam melaksanakan tugasnya untuk membuka lahan hutan tersebut. Sesampainya di wilayah hutan sebelah utara pelabuhanMuara jati Nyi,Mas Baduran menebang pohon dan mengumpulkan rerumputan kering yang kemudian sampai kelelahan dan berpikirlah
Nyi,Mas Baduran seandainya ia seorang diri menebang pepohaonan rasanya tidak akan sanggup untuk menampung sejumlah pasukan demak yang sangat banyak sehingga ia berinisiatif untuk membakarnya dan setelah rerumputan ilalang yang terbakar membumbung asapnya ke angkasa kemudian Nyi,Mas Baduran menyabatkan selendangnya ke bara api tersebut agar api tersebut cepat merambat sambil menyabatkan selendang ia mengucap sampai dimana bara api ini terjatuh
maka tempat tersebut adalah tanah baduran. Setelah bara padam Nyi,Mas Baduran kemudian berkeliling untuk memastikan batas-batas wilayahnya dan akhirnya bara tersebut jatuh sampai wilayah Desa Bojong Dan batas desa bakung sehiingga kigede bakung merasa tersinggung denganNyi,Mas Baduran yang menurutnya telah merampas tanahnya sehingga terjadi pertikaian atau perkelahian antara kigede bakung dengan Nyi,Mas Baduran di wilayah tapal batas bakung dengan tanah bedulan sekarang konon katanya perkelaian itu sampai berlangsung berminggu-minggu sampaikeduanya kehabisan tenaga dan kesaktian sehingga sampai pada saat kigede
bakung merasa kalah dan mundur tetapi kemudian ada tanaman labuhitan yang tersangkut di kaki Nyi,Mas Baduran sehingga terjatuh melihat hal seperti itu kigede bakung menghunuskan kerisnya sehingga Nyi,Mas Baduran terluka tetapi Nyi,Mas Baduran tidak hanya diam sempat juga menusukan kerisnya ke tubuh kigede bakung sehingga ki gede bakung tewas di tempat itu
tetapi luka taklama setelah kigede bakung meninggal Nyi,Mas Baduran pun menyusul tidak kuat tetapi sebelum Nyi,Mas Baduran meninggal ia sempat berpesan kepada anak cucu agar kelak
jangan menanam pohon labu hitam tersebut di tanah bedulan sehingga sampai sekarang masyarakat bedulan tidak ada yang berani menanamnya. Mendengar kabar Nyi,Mas Baduran telah meninggal pihak keraton cirebon sangat menyayangkan hal tersebut sehingga di utuslah putri dari Nyi,Mas Baduran sendiri yang bernama Nyiu,Mas Pulung Ayu dengan didampingi
pangeran jaya lelana untukmenguburkanya secara layak dan meneruskan tugasnya untuk mempersiapakan sebuah padukuan sebagai persinggahan pasukan Demak yang akan tiba dan kemudian dirampungkanlah tugas Nyi,Mas Baduran oleh pangeran jaya lelana dbersama dengan Nyi,Mas Pulung ayu dan setelah itu nyi mas Pulung Ayu memutuskan untuk tinggal di daerah
baduran untuk meneruskan dan merawat kuburan dari sang ibunya.Setelah itu pada tahun 1563 datanglah tentara demak yang di pimpin oleh Fatahillah dan di seranglah Batavia dan portugispun dapat dikalahkan dan kemudian Repoblic batav di ganti namanya menjadi Jaya
Karta yang artinya Kota kemenangan dan jaya karta sekarang dikenal dengan nama Jakarta setelah di taklukanya Batavia pada tahun 1563 maka banyak dari tentara Demak yang memilih
untuk tinggal di padukuan baduran sehingga padukuan baduran yang sebelumya hanya tempat persinggahan kini menjadi sebuah pedukuan yang ramai akan penduduknya dan pada tahun1565 baduran resmi menjadi sebuah desa yang di kepalai oleh seorang kuwu yaitu kuwu wertu kemudian pada tahun 1576 desa baduran di naikan setatusnya menjadi pademangan dengan seorang demang Pangeran jaya lelana menjadi demang yang bergelar adipati Suranenggala.
Kemudian pada tahun 1782 pihak kerajaan cirebon yang saat itu sudah lemah wilayahnya sedikit demi sedikit dikuasai oleh pihak belanda atau VOC Saat itu jendral Van hotman sebagai ajudan dari pada Dengles memerintahkan agar pademangan baduran dihilangkan dan diambil alih
kekuasaanya oleh residen Cirebon yang bermarkas di kerucuk sekarang dan tanah bedulan di bagi dua menjadi karang reja dan tanah baduran dan mulai saat itu nama baduran berganti
menjadi Bedulan menggunakan loga belanda dan bedulan menjadi desa kembali kemudian pada tahun 1952 bedulan di pecah menjadi dua bagian yaitu desa Suranenggala kidul atau bedulan kidul dan Surangenggala Lor Atau Bedulan Lor kemudian pada tahun 1982 bedulan lor dipecah kembali menjadi dua desa yaitu Suranenggala Lor Dan Suranenggala dan bedulan kidul dipecah menjadi dua desa pula yaitu desa suranenggala kidul dan suranenggala kulon.Dan menurut perda no 17/02/12/ thun 2006 suranenggala dijadikan nama kecamatan secara resmi dan sampai sekarang Suranenggala adalah nama desa dan kecamatan dan nama bedulan adalah nama
dari persatuan dari desa-desatersebut.
SEJARAH ASAL USUL DESA BAKUNG KAB.CIREBON
Menurut cerita, Pada jaman dahulu
kala dalam penyamarannya di gunung Kumbang, yang tepatnya di blok Ardi Lawet bergelar Abujangkrek. Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar ki Kuwu Cerbon atau
biasa orang menyebutnya dengan mbah kuwu cerbon. Di tempat tersebut beliau
memiliki dua orang anak yaitu seorang laki-laki bernama Sela Rasa dan seorang perempuan bernama Sela Rasi. Di jaman itu Ki Kuwu memasuki daerah Telaga dan dan beliau bertemu dengan
seseorang yang bernama Ki Wanajaya . Di telaga tersebut Ki Wanajaya adalah seorang yang sakti mandraguna hingga tak ada
tandingannya.dan dalam pertemuannya dengan Ki Kuwu, terjadilah selisih paham hingga
menimbulkan perkelahian. Perkelahian dua orang sakti itu terjadi lama sekali,
hingga masing-masing mencari kelemahan lawannya, Tetapi belum seorangpun yang
menunjukkan kelemahan untuk dapat dirobohkan salah seorang diantaranya.Pada suatu saat diserangnya Ki Wanajaya dengan ajian Nini Badong yang berkhasiat mengeluarkan hawa dingin luar biasa. Ki kuwu mengarahkan ajian itu sangat tepat mengenai sasarannya, Ki Wanajaya menjadi tak berdaya. Tetapi Ki Kuwu yang memiliki jiwa ksatria, menunggu lawannya yang tak berdaya dan tidak berani menyerangnya sampai mati. Agaknya Ki Wanajaya sendiri merasakan perlakuan lawannya tidak mudah dapat dilawannya. hinga pada akhirnya Ki Wanajaya menyerah, dan Ki Kuwu dengan senang hati mengampuninya. Kemudian Ki Wanajaya mengikuti faham Ki Kuwu memasuki agama Islam.
Karena pernyataan Ki Wanajaya, Ki Kuwu berniat baik kepada Ki Wanajaya agar seterusnya tetap berjalan dalam Islam. kemudian ki kuwu meminta kepada Ki Wanajaya agar memperistri putrinya yang bernama Sela Rasi. Ki Wanajaya mengajukan keberatan sehubungan usianya telah berjauhan dengan Sela Rasi. Tetapi dengan kesaktiannya Ki Kuwu memberikan ilmu kepada Ki Wanajaya. Setelah ilmu itu diterima, berubahlah wajah Ki Wanajaya layaknya seorang perjaka. Ki Kuwu menyuruh Ki Wanajaya berkaca ke permukaan air agar mengetahui perubahan dirinya. Namun ditempat itu tidak ditemukan sebuah balong pun, segera Ki kuwu ditempatnya duduk mencungkil tanah, dari tanah yang dicungkilnya lah dikabulkan, lalu timbulah sebuah balong yang airnya jernih sekali, Ki Wanajaya segera berkaca di balong tersebut. Ki Wanajaya tersenyum melihat tampangnya seperti perjaka kembali. Ki Kuwu menjelaskan, engkau telah kuberi Doa Janur Wenda yang telah engkau hafalkan. Doa yang telah engkau baca dikabulkan Allah, dan raut mukamu telah kembali seperti perjaka.
Ki Kuwu menunjukkan adanya binatang-binatang kecil yang disebut Remis, berada dipinggiran balong yang baru terjadi itu. Balong ini sebaiknya diberi nama Telaga Remis, dan tanah cungkilannya bawalah. Ki Wanajaya menurut kepada semua yang dikatakan Ki Kuwu. Ki Wanajaya kemudian dijodohkan dengan Nyi Sela Rasi, di tempatkan agar berdiam di sebuah daerah yang diberi nama Bakung. Ki Wanajaya hidup rukun bersama istrinya Nyi Sela rasi di Bakung. Tanah cungkilan Telaga Remis disimpannya disebuah tempat yang diberi nama Tegal Angker. Tanah itu terletak di tapal batas Desa Pagertoya dan Desa Suranenggala Kulon. Dikatakan pula oleh Ki Kuwu kelak dikemudian hari kalau tanah di Tegal Angker dipertemukan dengan air yang berasal dari Telaga Remis, maka tanah disana akan menjadi subur.
Berdasarkan pada cerita itu, pada masa jabatan Kuwu Bakung yang pada waktu itu dipegang oleh Moh Sidik, amanat itu telah dibuktikannya. Kuwu Moh Sidik mencoba mengusahakan terjadinya air dari sungai Jamblang dapat menembus sampai ke Tegal Angker. Usahanya dibantu oleh rakyat setempat memperoleh hasil, kurang lebih tahun 1970an, air dari Telaga Remis sampai ke Tegal Angker. Yang telah diamanatkan Ki Kuwu tersebut terbukti dan membuahkan hasil, Tegal Angker merupakan tanah yang subur. Lambat laun perkampungan Bakung di kukuhkan menjadi Desa Bakung. Yang kemudian pada tahun 1980an Desa Bakung dimekarkan menjadi dua Desa yaitu Desa Bakung Kidul dan Desa Bakung Lor.
Perekonomian
Perekonomian Desa Bakung Lor dipengaruhi oleh letak geografis yang strategis sehingga struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor Pertanian dan sektor perindustrian.
Desa Bakung sendiri sangat terkenal dengan tapenya yang tidak asing lagi di telinga masyarakat lingkungan bakung dan sekitarnya, bahkan masyarakat Kota Cirebonpun mengenalnya. Apalagi di Desa bakung juga terdapat banyak sekali pabrik - pabrik penggilingan padi yang hasil berasnya di kirimkan ke Bulog Jakarta. Sehingga tidak aneh meskipun Desa Bakung merupakan desa kecil namun namanya cukup terkenal bagi sebagian orang.
SEJARAH ASAL USUL
DESA KALI DERES KAB.CIREBON
Suatu hari pada abad ke 14 Nyi Mas Ratu
Rara Mangi oleh ayahandanya diperintahkan untuk meninggalkan kerato pajajaran
untuk mengembara ke berbagai negeri. Ayahanda nyi mas ratu rara mangi adalah
iki ageng sepuh, seorang penasehat di lingkungan kerajaan. Adapundasar
pertimbangan perintah tersebut adalah karena kiageng sepuh mendapat firasat
bahwa tidak lama lagi keratin pajajaran bakal runtuh, sirna dari mayapada, dan
prabu siliwangi dan para sesepuh negeri malakukan ngahiyang ke alam lain.
Dalam perjalanan pengembaraannya, nyi mas ratu rara mangi tiba di pondok Begawan danu warsih, dan memohon dijadikan muridnya. Namun begawn danuwarsih tidak mengabulkannya, melainkan member saran agar nyi mas ratu rara mangi berguru kepada mbah kuwu carbon di pedukuhan Cirebon.
Di tengah belantara menuju ke pedukuhan Cirebon, nyi mas ratu rara mangi bertemu dengan jaka semirat yang bermaksud sama untuk berguru ke mbah kuwu carbon. Kepada jaka semirat, nyi mas ratu rara mangi bahwa dirinya juga hendak menuju kearah yang sama, namun disampaikan pula ia hanya bersedia menjadi murid mbah kuwu carbon asalkan calon gurunya itu dapat menglahkan ilmu kesaktiannya.
Mendengar penuturan nyimas ratu rara mangi, jaka semirat menjadi tersinggung karena wanodya yang baru di kenalnya itu secara tidak langsung telah menghina mbah kuwu carbon orang yang di muliakannya, oleh karena itu nyi mas ratu rara mangi ditangtang berperang tanding. Dan terjadilah bitotama yang seruh, masing-masing mengeluarkan ilmu kedigdayaannya.
Akhir perang tanding yang memakan waktu lama itu dimenangkan oleh nyi mas rartu rara mangi. Kemudian jaka semirat menyarahkan diri dan bersedia menjadi kauula. Namun kesedian jaka semirat di tolak nyi mas ratu rara mangi dengan halus, bahkan sang ratu membisikan ketelinga jaka semirat bahwa bahwa dirinya jatuh cinta kepadanya dan ingin hidup bersama. Ia juga mengatakan bahwa menguji ilmu kesaktian mbah kuwu carbon bukan berarti melawannya. Setelaha jaka semirat memhami apayang diutarakan nyi mas ratu rara mangi, keduannya bermesraan saling mencintai bagaikan sudah berkenalan lama.
Selagi keduaanya memadu kasih, tiba-tiba dikagetkan dengan kedatangan seorang kakek tua rentan yang meminta tolong untuk mengambilkan tongkatnya yang hanyut di sungai. Di minta pertolongan demikian, keduannya sangat gembira, karena mereka juga bermaksud akan mandi di sungai. Maka tanpa banyak catur lagi, dua insan yang sedang dimabuk asmara itu segera terjun ke dalam sungai. Sambil bercanda mereka berebut tongkat milik sang kakek. Namun tongkat yang direbutkan itu tidak bisa dijamah karena licinseperti seokor belut dan seolah-olah mempermainkanya.
Oleh sebab itu, jaka semirat dan nyimas ratu rara mangi menjadi sangat penasaran dan terpaksa menggunakan lmu kesaktiannya untuk mendapatkan tongkat itu, akan tetapi meski keduanya telah menguras ilmu kesaktiannya, tongkat itu masih tetep trapung dan tidak bisa diambilnya, bahkan tongkat itu seperti mengejeknya. Kejadian itu berlangsung lama hingga jaka semirang dan nyimas ratu rara mangi merasakan kelelahan yang luar biasa hingga akhirnya mereka menyerah dan tergeletak di tepi sungai.
Setelah sadar, jaka semirat dan nyi mas ratu rara mangi bukan main kagetnya, karena tongkat yang diprebutkan itu sudah berada di tangan pemliknya yang berdiri tegak di dekatnya. Kemudian kakek tua dengan mengacugkan tongkatnya mengatakan bahwa dirinya adalah mbah kuwu carbon yang sengaja menyamar. Setelah itu mbah kuwu carbon mempersilahkan nyi mas ratu rara mangi apabila hendak menjajal (mengadu) ilmunya.
Mendengar penjelasan tersebut nyi mas ratu rara mangi tersipu malu, dan tanpa sungkan –sungkan ia menyembah hormat kepada mbah kuwu carbon serta memohon maaf atas kelancangannya dan minta diangkat menjadi muridnya.
Setelah nyi mas ratu rara mangi menjadi murid mbah kuwu, ia sangat akrab dengan nyi mas ratu ayu pangkuwati putrid mbah kuwu (yang selanjutnya nyi mas ratu ayu pangkuwati menjadi istri sunan gunung jati). Oleh sunan gunung jati, nyi mas ratu rara mangi diangkat sebagai seorang pepatih andalan yang di kenal kedigdayaanya.
Pada suatu waktu, nyi mas ratu rara mangi diperintahkan untuk mengawal istrinya nyi mas ratu ayu pangkuwati mengunjungi pondok nyi ageng celancang yang baru di perbaiki. Namun ditengah perjalanan kereta yang di tumpangi permaesuri sultan Cirebon itu di hentikan ki lelanang bekas murid mbah kuwu yang pernah jatuh cinta kepada nyi mas ratu ayu pangkuwati.
Menyaksikan tingkah laku yang tidak sopan dariki lelanang. Nyi mas ratu rara mangi yang bertanggung jawab atas keselamatan nyi mas ratu ayu pangkuwati, tanpa membung waktu lagi menyerangnya. Maka terjadilah perang tanding yang sangat seru dengan berakhir keklahan ki lelanang yang keceluk(terkenal) diksura itu.
Pada usia sesepuhnya nyi mas ratu rara mangi bermukim di sebuah pondok di tengah hutan bersama suaminya jaka semirat, dan selalu mengusuhkan diri kepada allah swt. Hampir seluruh waktu yang dimiliknya selalu digunakan untuk berdzikir dan untuk membaca al –Quran. Dipondoknya itu tidak jarang untuk oarng yang datang untuk belajar mengaji. Kepada yang baru belajar diajarkan dua kalimah syahadat terlebih dahulu, sebagai tanda menjadi pemeluk ajaran islam. Selanjutnya hutan di sekitar pondok nyi mas ratu rara mangi di perintah kan oleh sunan gunung jati untuk dibabad dan dijadikan sebuah pedukuhan. Setelah menjadi sebuah pedukuhan hutan itu diberi nama kalideres, berasal dari kata KALI+DERES. Kali mempunyai dua pengertian, yaitu :
- Kali = dua (bhs jawa), yaitu dua kalimah syahadat (syahadatain). Yaitu kalimah yang menjadi dzikiran/wiridan Nyi Mas Ratu Mangi. Kali = dua, dengan pengertian bahwa kita selaku manusia harus mempunyai keseimbangan, yaitu dua sisi yang harus seimbang “lahir dan batin, dunia dan akhirat, iptek dan imtaq”, yang dua-duanya harus seimbang.
- Deres = nderes/mengkaji/membaca/mempelajari, yaitu disamping nderes/mengkaji/membaca/mempelajari AL-QURAN, juga harus mempelajari dua hal di atas.
Jadi nama kalideres mengandung makna
bahwa setiap manusia harus meyakini, mendalami dan mengamalkan ajaran yang
terkandung dalam dua kalimah syahadat dan Al-quran. Nyi Mas Ratu Rara Mangi
mempunyai keyakinan bahwa jika seseorang ingin mencapai hidup bahagia yang
hakiki, maka harus selalu membaca/mempelajari/mengkaji dua hal, yaitu hal
duniawi dan ukhrowi (dunia akhirat), lahir dan batin. Keduanya harus seimbang,
sehingga manusia akan memiliki dan menguasai iptek dan imtaq.
Setelah Kalideres resmi menjadi sebuah pedukuhan, diangkatlah Nyi Mas Ratu Rara Mangi oleh Mbah Kuwu Cerbon menjadi gegeden Kalideres, yang bergelar Nyi Gede Kalideres, disebut juga Nyi Mas Sesangkan, Nyi Mas Pakungwati atau Nyi Mas Runde Pakungwati.
Ketika wafat, Nyi Gede Kalideres di makamkan di kompleks Makam Gunung Jati Astana Cirebon. Yaitu di luar dekat tembok sebelah barat dengan urutan : Makam Ki Gede Bayalangu, Ki Gede Jagapura, Nyi Gede Kalideres, Ki Gede Kedokan/Karangampel, Ki Gede Weru, dan Nyi Gede Gegesik (di blok pamungkuran).
Pekerjaan Nyi Mas Ratu Rara Mangi dalam menekuni/mempelajari dan mengajarkan ilmu agama islam diteruskan oleh anak-cucunya sampai sekarang. Penrus itu antara lain : Ki Mas’ady syahir, Ki Ahmad nasa’i melanjutkan perjuangan kiyai Rasim. Ki Ibad melanjutkan Ki H Usman, Ki Asrowi dan Ki Yasin melanjutkan Ki H Setimol, Ki Nurrochman melanjutkan Kiyai Ngarpat, dan masih banyak lagi generasi muda yang berjuang dan berjihad dalam pengembangan agama islam.
SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER DAN KI SELA PANDAN
Konon diceritakan, Sunan Gunung
Jati dengan istrinya Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sedang bermusyawarah di
Banten memikirkan mimpi dan bisikan gaib yang diterimanya, Nyi Mas Ratu
Kawunganten disuruh membuka pedukuhan di hutan Lebak Sungsang.
Maka Sunan Gunung Jati memanggil Pangeran Pager Toya dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menuju wilayah hutan Lebak Sungsang. Sunan Gunung Jati merestui atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar. Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum serta menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tetapi di daerah Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya dengan berlayar menuju ke wilayah Cirebon.
Di tengah perjalanan rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang bernama pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi. Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersebut maka Candi yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan. Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan menjawab :“Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga Sangyang Kendit, berlayarlah menuju tegalan panjang dan luas".Setelah mendapat petunjuk dari Ki Kriyan maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut maka rombongan melanjutkan dengan berjalan kaki menelusuri bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang bernama Desa Tegalagung.
Rombongan berjalan ke barat maka sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan pohon-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk beristirahat para pengikutnya. Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan pengawalnya menebang pohon- pohon yang besar yang ada di wilayah hutan Lebak Sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh 10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon tersebut.
Hampir satu bulan pengikut dan pengawal menebang hutan Lebak Sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter saja, belum lagi anak buahnya banyak yang mati dan luka diterkam binatang buas dan seringkali harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut yaitu dua makhluk siluman yang bernama Kala Arus dan Dewi Santi yang berwujud seekor ular raksasa, maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten bertafakur kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan dalam membabad hutan Lebak Sungsang tersebut. Dalam tafakurnya ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menancapkan tusuk kondenya pada sebatang kayu besar yang telah roboh. Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu. Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua hewan berlarian dan tidak sedikit yang mati terbakar dan apinya merembet ke hutan-hutan di daerah lain yang dan ikut terbakar, diantaranya sekarang sudah menjadi desa Jambe, desa Bulak, desa Tugu dan desa Eretan akibat terbakarnya hutan Lebak Sungsang yang apinya beterbangan. Dalam kurun waktu satu tahun setelah terbakarnya hutan tersebut maka semua pohon-pohon sudah rata dengan tanah.
Setelah selesai membabad hutan tersebut maka dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada Syeh Sarif Hidayatullah bahwa tugasnya untuk membuka pedukuhan baru di wilayah hutan Lebak Sungsang sesuai perintah dari mimpinya telah selesai dan meminta agar Sunan Bonang ikut melihat daerah yang baru dibuka itu. Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan Lebak Sungsang dengan rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon. Sesampainya rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten merasa gembira tapi juga sedih karena kedatangan rombongan tidak disertai suaminya, dikarenakan suaminya memenuhi undangan Sultan Mesir. Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan Nyi Mas Ratu Kawunganten yang membuka pedukuhan baru tersebut dan sebagai tanda jasanya, Sunan Bonang memberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan sebutan Ratu Seuneu (bahasa Indonesia: Ratu Api).
Mbah Kuwu Cirebon menyarankan kepada Ratu Seuneu untuk segera membangun rumah yang besar untuk tempat kediaman Ratu Seuneu dan anak-anaknya dan seluruh pengikutnya. Maka dibangunlah empat gubug besar yaitu :
1. Untuk Nyi Mas Ratu Ayu Kawunagnten dan anak-anaknya
2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya
3. Untuk ayah dan pamannya, dan
4. Untuk pengawal dan pengikutnya.
Selang beberapa hari kemudian Ratu Seuneu meminta agar daerah baru tersebut diberi patok (batas) dengan daerah lain maka berangkatlah Ki Kuwu Sangkan dan pangeran Pager Toya menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh arah selatan dan pangeran Pager Toya meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain. Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok)wilayah Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon Kedawung dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon Kedawung itu sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat.
Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas (patok) beristirahatlah diatas batu di bawah rumpun bambu yang dikelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan kelak dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan yang masih dianggap keramat sampai sekarang tepatnya berada di sebelah selatan lapang bola desa Kedokanbunder. Pemberian patok batas di tahun 1499 M inilah yang menjadi dasar hari jadi Desa Kedokanbunder. Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan pangeran Pager Toya kembali ke Cirebon sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dan pengikutnya. Banyak orang yang berdatangan ke pedukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai tempat bermukim namun ada persyaratan yang harus dipenuhi bagi mereka yang ingin menetap yaitu harus memeluk agama Islam.
MISTERI SUMUR GEDE
Maka Sunan Gunung Jati memanggil Pangeran Pager Toya dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menuju wilayah hutan Lebak Sungsang. Sunan Gunung Jati merestui atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar. Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum serta menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tetapi di daerah Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya dengan berlayar menuju ke wilayah Cirebon.
Di tengah perjalanan rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang bernama pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi. Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersebut maka Candi yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan. Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan menjawab :“Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga Sangyang Kendit, berlayarlah menuju tegalan panjang dan luas".Setelah mendapat petunjuk dari Ki Kriyan maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut maka rombongan melanjutkan dengan berjalan kaki menelusuri bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang bernama Desa Tegalagung.
Rombongan berjalan ke barat maka sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan pohon-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk beristirahat para pengikutnya. Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan pengawalnya menebang pohon- pohon yang besar yang ada di wilayah hutan Lebak Sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh 10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon tersebut.
Hampir satu bulan pengikut dan pengawal menebang hutan Lebak Sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter saja, belum lagi anak buahnya banyak yang mati dan luka diterkam binatang buas dan seringkali harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut yaitu dua makhluk siluman yang bernama Kala Arus dan Dewi Santi yang berwujud seekor ular raksasa, maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten bertafakur kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan dalam membabad hutan Lebak Sungsang tersebut. Dalam tafakurnya ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menancapkan tusuk kondenya pada sebatang kayu besar yang telah roboh. Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu. Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua hewan berlarian dan tidak sedikit yang mati terbakar dan apinya merembet ke hutan-hutan di daerah lain yang dan ikut terbakar, diantaranya sekarang sudah menjadi desa Jambe, desa Bulak, desa Tugu dan desa Eretan akibat terbakarnya hutan Lebak Sungsang yang apinya beterbangan. Dalam kurun waktu satu tahun setelah terbakarnya hutan tersebut maka semua pohon-pohon sudah rata dengan tanah.
Setelah selesai membabad hutan tersebut maka dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada Syeh Sarif Hidayatullah bahwa tugasnya untuk membuka pedukuhan baru di wilayah hutan Lebak Sungsang sesuai perintah dari mimpinya telah selesai dan meminta agar Sunan Bonang ikut melihat daerah yang baru dibuka itu. Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan Lebak Sungsang dengan rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon. Sesampainya rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten merasa gembira tapi juga sedih karena kedatangan rombongan tidak disertai suaminya, dikarenakan suaminya memenuhi undangan Sultan Mesir. Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan Nyi Mas Ratu Kawunganten yang membuka pedukuhan baru tersebut dan sebagai tanda jasanya, Sunan Bonang memberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan sebutan Ratu Seuneu (bahasa Indonesia: Ratu Api).
Mbah Kuwu Cirebon menyarankan kepada Ratu Seuneu untuk segera membangun rumah yang besar untuk tempat kediaman Ratu Seuneu dan anak-anaknya dan seluruh pengikutnya. Maka dibangunlah empat gubug besar yaitu :
1. Untuk Nyi Mas Ratu Ayu Kawunagnten dan anak-anaknya
2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya
3. Untuk ayah dan pamannya, dan
4. Untuk pengawal dan pengikutnya.
Selang beberapa hari kemudian Ratu Seuneu meminta agar daerah baru tersebut diberi patok (batas) dengan daerah lain maka berangkatlah Ki Kuwu Sangkan dan pangeran Pager Toya menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh arah selatan dan pangeran Pager Toya meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain. Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok)wilayah Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon Kedawung dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon Kedawung itu sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat.
Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas (patok) beristirahatlah diatas batu di bawah rumpun bambu yang dikelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan kelak dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan yang masih dianggap keramat sampai sekarang tepatnya berada di sebelah selatan lapang bola desa Kedokanbunder. Pemberian patok batas di tahun 1499 M inilah yang menjadi dasar hari jadi Desa Kedokanbunder. Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan pangeran Pager Toya kembali ke Cirebon sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dan pengikutnya. Banyak orang yang berdatangan ke pedukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai tempat bermukim namun ada persyaratan yang harus dipenuhi bagi mereka yang ingin menetap yaitu harus memeluk agama Islam.
MISTERI SUMUR GEDE
Pada suatu ketika pedukuhan Lebak Sungsang dilanda kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala usaha belum juga membuahkan hasil. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban keganasan kekeringan itu tapi juga binatang peliharaan mereka, beliau tetap tabah dan berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib agar menancapkan tusuk kondenya kembali ke tanah yang lebih rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan menggunakan balok-balok kayu yang besar. Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan air, sumber air tersebut diberi nama Sumur Gede yang sampai sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan. Air sumur tersebut oleh penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan keperluan cocok tanam.
ASAL-USUL DESA KEDOKANBUNDER
Kesaktian Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten atau Ratu Seuneu ini sangat termasyur sampai ke negeri Campa dan banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan beliau. Pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang bernama Jiou Phak yang dikawal Jiou Go dan Qi Pa Lhiang serta 40 orang prajuritnyayang bertujuan untuk meminang beliau, tapi beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap pada pendirian, maka terjadilah peperangan dan uji kesaktian antara Jiou Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten.
Dalam perkelahian tersebut Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan kesaktianya oleh Putra Campa tersebut. Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten maka Ki Kuwu Sangkan datang Ke pedukuhan Lebak Sungsang dan memberikan pusaka Golok Cabang kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (Bahasa Indramayu : bunder) akhirnya tempat itu dinamakan Kedokanbunder. Pendukuhan Lebak Sungsang akhirnya diganti namanya menjadi Kedokanbunder. Putra Campa menghembuskan nafas terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go kuburannya masih bisa kita lihat di blok Cilengkong yang disebut Petilasan Ki Jago.
Akhirnya beliau memerintah pedukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh kesabaran hingga pada suatu hari beliau sakit dan meninggal dunia. Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isunkabeh terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong- wongan mung diwedeni ning manuk" (Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar, berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan sampai jadi orang- orangan yang hanya ditakuti oleh burung).
Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke pedukuhan Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan menziarahi makam untuk mendoakan beliau sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan kebijaksanaannya. Kepemimpinan pedukuhan Kedokanbunder diteruskan oleh keturunannya.
SEJARAH ASAL USUL
DESA CILEDUG
Untuk mengamankan daerah dari orang-orang yang tidak mau
masuk islam ,Ki Bledug Jaya meminta dikirimi prajurit tangguh dari Caruban
Larang untuk melatih para pemuda dan orang-orang dewasa penduduk Pagedangan.
Setelah bantuan pasukan datang,mereka melatih penduduk Pagedangan disuatu tempat,sehingga
tempat itu menjadi berdebu[ledug-bahsa Jawa]sampai-sampai air[Cai-bhs
Sunda]yang akan digunakan untuk mandi,mencuci dan minum bercampur
ledug[debu]akhirnya tempat latihan itu terkenal dengan sebutan Ciledug hingga
sekarang.
Untuk memenuhi kebutuhan Keraton Cerbon,Ki Bledug Jaya diperintahkan oleh Syarif Hidayatullah[Sunan Gunungjati] agar berdiam di Keraton Caruban Larang,tetapi pada hari Senin dan Kamis Ki Bledug Jaya diperkenankan untuk melihat daerahnya.[Orang-orang masih percaya bahwa sampai sekarang Ki Bledug Jaya pada hari Senin dan Kamis berada di Ciledug.Pada hari Senin dan Kamis banyak orang datang berziarah ke tempat tersebut].
Pada abad ke 15 daerah Pagedangan termasuk Wilayah Kerajaan Galuh yang menguasai daerah Jawa Barat sampai batas Cipamali[Sungai ini sekarang menjadi batas antara Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah].Agama yang di anut oleh masyarakat ketika itu kebanyakan menganut agama Hindu-Budha pengaruh dari luar daerah.Pada saat itu,di Cirebon telah berkembang agama islam yang dikembangkan oleh Pangeran Walangsungsang[Mbah Kuwu Cerbon],putra Prabu Siliwangi penguasa Kerajaan Galuh/Pajajaran. Dalam rangka mengembangkan/mensiarkan agama islam,Pangeran Walangsungsang dibantu oleh putra Nyai Rarasantang adiknya yang bernama Syarif Hidayatullah yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Dengan adanya Pangeran Walangsungsang menyebarkan agama islam,maka wilayah Kerajaan Galuh diliputi rasa kekhawatiran,para sesepu Galuh yang beragama Sanghiang merasa kehilangan wibawa dan kepercayaan dari masyaraktnya,antara lain Ki Arya Kidang Layaran yang juga sedang kecewa karena salah seorang anaknya yang bernama Raden Layang Kemuning mengundurkan diri sebagai Pepatih Kerajaan Galuh,meninggalkan segala kebesaran dan pergi mengembara tanpa pamit,sedangkan tempat tujuannya pun tidak diketahui rimbanya,untuk mencarinya Ki Arya Kidang Layaran mengutus Nyi Ratu Layang Sari adik Layang Kemuning.
Dalam pengembaraannya,Raden Layang Kemuning menetap dan berdiam menyendiri di suatu tempat di tepi Sungai Ci Sanggarung,ia menyamar sebagai tukang nyarah[mengambil kayu yang hanyut di sungai] dan berganti nama dengan nama Malewang.Pada suatu hari,langit mendung,halilintar bergelegar dan turunlah hujan yang sangat deras bagai ditumpahkan dari langit,akibat hujan lebat Sungai Ci Sanggarung banjir mendadak Airnya menggemuruh dan berulang-ulang menghanyutkan segala yang menghalangi,termasuk tubuh Ki Malewang yang sedang nyarah ikut hanyut,dalam keadaan pingsan ia terdampar di daerah Pagedangan,tiada selembar kainpun yang melekat di tubuhnya,karena waktu nyarah pakaiannya diletakkan ditepi Sungai[Tempat terdamparnya Ki Malewang sekarang bernama Pelabuhan].
Ratu Layang Sari yang di utus ayahandanya untuk mencari kakaknya yang bernama Raden Layang Kemuning belum mendapatkan hasil,akhirnya sampailah di tempat Ki Malewang terdampar,melihat ada tubuh seorang laki-laki yang tergeletak di tepi sungai dalam keadaan tanpa busana,maka keinginan untuk menolong diurungkan,tetapi ia melemparkan selendang untuk menutupi tubuh yang tergeletak itu,lau ia meninggalkan tempat itu dengan tidak mengira bahwa yang tergeletak adalah tubuh Kakanya yang selama ini ia cari.Setelah Ki Malewang sadar dari pingsannya,bukan main kagetnya berada di tempat itu dalam keadaan telanjang,hanya tertutup selembar selendang,ia pun bertanya-tanya dalam hati,siapa orang yang telah menutupi badannya dengan selendang itu
Di Pagedangan itu Ki Malewang membuatt gubuk untuk tempat tinggal,dan pepohonan disekitarnya ditebang untuk dijadikan lahan pertanian,daerah tepi sungai Cisanggarung tempat kediaman Ki Malewang itu sangat subur,sehingga orang-orang berdatangan ke tempat itu,dan lama kelamaan ramailah daerah Pagedangan banyak penghuninya,beberapa tahu kemudian,datanglah enam orang utusan dari kerajaan Galuh setelah mendengar keberadaan Raden Layang Kemuning di Pagedangan dengan maksud agar Raden Layang Kemuning mau kembali ke Kearajaan Galuh,tetapi Raden Layang Kemuning[Ki Malewang]menolak,bahkan orang utusan itupun ingin menetap di Pagedangan dengan tujuan mengabdi kepada Raden Layang Kemuning mengembangkan Pedukuhan.
Keenam orang tersebut adalah :
1.Ki Gagak Singalaga[Ki Gatot Singalaga]
2.Ki Angga Paksa
3.Ki Angga Raksa
4.Ki Kokol
5.Ki Jala Rawa[Ki Sekar Sari]
6.Nyi Godong Lamaranti[Disebut Nyai]
Ketika Mbah Kuwu Cerbon mengetahui bahwa daerah sebelah timur ada sebuah Pedukuhan yang masih menganut agama Sanghiang,maka ia bersama pengikutnya mendatangi Pagedangan untuk menyampaikan agama islam,kedatangan Mbah Kuwu Cerbon diterima dengan baik oleh Ki Malewang,yang kemudian ia beserta para pengikutnya masuk agama islam dengan tulus.
Untuk menambah keyakinan,Ki Malewang bersama pengikutnya mengangkat sumpah di depan Mbah Kuwu Cerbon sebagai bukti kesetiaannya memeluk agama islam,pada waktu sumpah itu dilaksanakan,tiba-tiba langit mendung gelap tertutup mendung dan halilintar yang sangat dahsyat menyambar Ki Malewang,suara menggelegar : Bleduuuug[didaerah itu disebut Bledug].Tubuh Ki Malewang tetap tegar,tidak bergetar dan tidak berubah sejak kejadian itu Ki Malewang mendapat gelar ''Ki Bledug Jaya''.
Pada tahun 1479 Syarif Hidayatullah diangkat Susuhunan di Caruban Larang,beliau memperluas Keraton Pakungwati dan akan didirikan Masjid Agung Sang Ciptarasa,karena memerlukan kayu jati yang baik dan kuat,maka Sinuhun menugaskan Ki Bledug untuk mencarikan Kayu Jati yang baik.
Bersama dengan para pengikutnya Ki Bledug Jaya menebang kayu di Bulak Kasub[daerah Dukuh Jeru-Brebes]dan mengirimkannya ke Cirebon.Kelebihan dan sisa kayu yang di bawa ke Cerbon oleh Ki Bledug Jaya dan para Pengikutnya di buat Bali yang besar.Balai[Bale]besar itu digunakan untuk tempat bermusyawarah dalam rangka penyebaran agama islam.DiBalai itu juga Mbah Kuwu Cerbon memimpin dan mengatur cara penyebaran agama islam,Balai itu lebih dikenal dengan sebutan Bale Kambang Ranjang[Bale Kambang]itu mempunyai enam buah tiang penyangga,hal ini dimaksudkan untuk mengenang jasa keenam pengikutnya yaitu : Ki gagak Sigalaga,Ki Angga Paksa,Ki Angga Raksa,Ki Kokol,Ki Jalak Rawa dan Nyi Godong Lamaranti.
Bale Kambang ini selain tempat musyawarah juga digunakan oleh ki Bledug Jaya untuk mengambil sumpah orang-orang yang baru masuk agama islam agar tidak kembali ke agama Sanghiang.
Ki Bledug Jaya/Ki Malewang/Raden Layang Kemuning wafat di Cirebon dan atas Jasanya dalam penyebaran agama islam beliau dimakamkan di Astana Gunungjati Blok Ganggong Pamungkuran.
Dari sejarah asal-usul Desa Ciledug ini semoga anak cucu kita khususnya daerah Ciledug akan mengenalnya tau akan sejarah desanya dan tak lupa pula untuk mendoakan para leluhur tersebut yang telah berjasa selama ini,semoga bermanfa'at untuk kita semua.amin
Untuk memenuhi kebutuhan Keraton Cerbon,Ki Bledug Jaya diperintahkan oleh Syarif Hidayatullah[Sunan Gunungjati] agar berdiam di Keraton Caruban Larang,tetapi pada hari Senin dan Kamis Ki Bledug Jaya diperkenankan untuk melihat daerahnya.[Orang-orang masih percaya bahwa sampai sekarang Ki Bledug Jaya pada hari Senin dan Kamis berada di Ciledug.Pada hari Senin dan Kamis banyak orang datang berziarah ke tempat tersebut].
Pada abad ke 15 daerah Pagedangan termasuk Wilayah Kerajaan Galuh yang menguasai daerah Jawa Barat sampai batas Cipamali[Sungai ini sekarang menjadi batas antara Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah].Agama yang di anut oleh masyarakat ketika itu kebanyakan menganut agama Hindu-Budha pengaruh dari luar daerah.Pada saat itu,di Cirebon telah berkembang agama islam yang dikembangkan oleh Pangeran Walangsungsang[Mbah Kuwu Cerbon],putra Prabu Siliwangi penguasa Kerajaan Galuh/Pajajaran. Dalam rangka mengembangkan/mensiarkan agama islam,Pangeran Walangsungsang dibantu oleh putra Nyai Rarasantang adiknya yang bernama Syarif Hidayatullah yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Dengan adanya Pangeran Walangsungsang menyebarkan agama islam,maka wilayah Kerajaan Galuh diliputi rasa kekhawatiran,para sesepu Galuh yang beragama Sanghiang merasa kehilangan wibawa dan kepercayaan dari masyaraktnya,antara lain Ki Arya Kidang Layaran yang juga sedang kecewa karena salah seorang anaknya yang bernama Raden Layang Kemuning mengundurkan diri sebagai Pepatih Kerajaan Galuh,meninggalkan segala kebesaran dan pergi mengembara tanpa pamit,sedangkan tempat tujuannya pun tidak diketahui rimbanya,untuk mencarinya Ki Arya Kidang Layaran mengutus Nyi Ratu Layang Sari adik Layang Kemuning.
Dalam pengembaraannya,Raden Layang Kemuning menetap dan berdiam menyendiri di suatu tempat di tepi Sungai Ci Sanggarung,ia menyamar sebagai tukang nyarah[mengambil kayu yang hanyut di sungai] dan berganti nama dengan nama Malewang.Pada suatu hari,langit mendung,halilintar bergelegar dan turunlah hujan yang sangat deras bagai ditumpahkan dari langit,akibat hujan lebat Sungai Ci Sanggarung banjir mendadak Airnya menggemuruh dan berulang-ulang menghanyutkan segala yang menghalangi,termasuk tubuh Ki Malewang yang sedang nyarah ikut hanyut,dalam keadaan pingsan ia terdampar di daerah Pagedangan,tiada selembar kainpun yang melekat di tubuhnya,karena waktu nyarah pakaiannya diletakkan ditepi Sungai[Tempat terdamparnya Ki Malewang sekarang bernama Pelabuhan].
Ratu Layang Sari yang di utus ayahandanya untuk mencari kakaknya yang bernama Raden Layang Kemuning belum mendapatkan hasil,akhirnya sampailah di tempat Ki Malewang terdampar,melihat ada tubuh seorang laki-laki yang tergeletak di tepi sungai dalam keadaan tanpa busana,maka keinginan untuk menolong diurungkan,tetapi ia melemparkan selendang untuk menutupi tubuh yang tergeletak itu,lau ia meninggalkan tempat itu dengan tidak mengira bahwa yang tergeletak adalah tubuh Kakanya yang selama ini ia cari.Setelah Ki Malewang sadar dari pingsannya,bukan main kagetnya berada di tempat itu dalam keadaan telanjang,hanya tertutup selembar selendang,ia pun bertanya-tanya dalam hati,siapa orang yang telah menutupi badannya dengan selendang itu
Di Pagedangan itu Ki Malewang membuatt gubuk untuk tempat tinggal,dan pepohonan disekitarnya ditebang untuk dijadikan lahan pertanian,daerah tepi sungai Cisanggarung tempat kediaman Ki Malewang itu sangat subur,sehingga orang-orang berdatangan ke tempat itu,dan lama kelamaan ramailah daerah Pagedangan banyak penghuninya,beberapa tahu kemudian,datanglah enam orang utusan dari kerajaan Galuh setelah mendengar keberadaan Raden Layang Kemuning di Pagedangan dengan maksud agar Raden Layang Kemuning mau kembali ke Kearajaan Galuh,tetapi Raden Layang Kemuning[Ki Malewang]menolak,bahkan orang utusan itupun ingin menetap di Pagedangan dengan tujuan mengabdi kepada Raden Layang Kemuning mengembangkan Pedukuhan.
Keenam orang tersebut adalah :
1.Ki Gagak Singalaga[Ki Gatot Singalaga]
2.Ki Angga Paksa
3.Ki Angga Raksa
4.Ki Kokol
5.Ki Jala Rawa[Ki Sekar Sari]
6.Nyi Godong Lamaranti[Disebut Nyai]
Ketika Mbah Kuwu Cerbon mengetahui bahwa daerah sebelah timur ada sebuah Pedukuhan yang masih menganut agama Sanghiang,maka ia bersama pengikutnya mendatangi Pagedangan untuk menyampaikan agama islam,kedatangan Mbah Kuwu Cerbon diterima dengan baik oleh Ki Malewang,yang kemudian ia beserta para pengikutnya masuk agama islam dengan tulus.
Untuk menambah keyakinan,Ki Malewang bersama pengikutnya mengangkat sumpah di depan Mbah Kuwu Cerbon sebagai bukti kesetiaannya memeluk agama islam,pada waktu sumpah itu dilaksanakan,tiba-tiba langit mendung gelap tertutup mendung dan halilintar yang sangat dahsyat menyambar Ki Malewang,suara menggelegar : Bleduuuug[didaerah itu disebut Bledug].Tubuh Ki Malewang tetap tegar,tidak bergetar dan tidak berubah sejak kejadian itu Ki Malewang mendapat gelar ''Ki Bledug Jaya''.
Pada tahun 1479 Syarif Hidayatullah diangkat Susuhunan di Caruban Larang,beliau memperluas Keraton Pakungwati dan akan didirikan Masjid Agung Sang Ciptarasa,karena memerlukan kayu jati yang baik dan kuat,maka Sinuhun menugaskan Ki Bledug untuk mencarikan Kayu Jati yang baik.
Bersama dengan para pengikutnya Ki Bledug Jaya menebang kayu di Bulak Kasub[daerah Dukuh Jeru-Brebes]dan mengirimkannya ke Cirebon.Kelebihan dan sisa kayu yang di bawa ke Cerbon oleh Ki Bledug Jaya dan para Pengikutnya di buat Bali yang besar.Balai[Bale]besar itu digunakan untuk tempat bermusyawarah dalam rangka penyebaran agama islam.DiBalai itu juga Mbah Kuwu Cerbon memimpin dan mengatur cara penyebaran agama islam,Balai itu lebih dikenal dengan sebutan Bale Kambang Ranjang[Bale Kambang]itu mempunyai enam buah tiang penyangga,hal ini dimaksudkan untuk mengenang jasa keenam pengikutnya yaitu : Ki gagak Sigalaga,Ki Angga Paksa,Ki Angga Raksa,Ki Kokol,Ki Jalak Rawa dan Nyi Godong Lamaranti.
Bale Kambang ini selain tempat musyawarah juga digunakan oleh ki Bledug Jaya untuk mengambil sumpah orang-orang yang baru masuk agama islam agar tidak kembali ke agama Sanghiang.
Ki Bledug Jaya/Ki Malewang/Raden Layang Kemuning wafat di Cirebon dan atas Jasanya dalam penyebaran agama islam beliau dimakamkan di Astana Gunungjati Blok Ganggong Pamungkuran.
Dari sejarah asal-usul Desa Ciledug ini semoga anak cucu kita khususnya daerah Ciledug akan mengenalnya tau akan sejarah desanya dan tak lupa pula untuk mendoakan para leluhur tersebut yang telah berjasa selama ini,semoga bermanfa'at untuk kita semua.amin
Sejarah Asal Usul Desa Sindang Laut
Desa Sindang Laut adalah salah satu desa tertua di
Cirebon,hal ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa leluhur masyarakat
Sindanglaut sudah ada sejak dahulu sebelum berdiri Kerajaan
Caruban[Cirebon]yang menurut sistem zaman para wali disebut zaman Dupala.
Sebelu agama islam berkembang Desa Sindanglaut ini dahulunya merupakan suatu pedukuhan yang bernama Pedukuhan''DUKUH AWI''Dukuh artinya daerah atau tempat kediaman dan Awi[bhs Sunda artinya Bambu].jadi ''Dukuh Awi''berarti daerah berbambu/tempat tumbuhan bambu,nama tersebut berkaitan dengan keadaan alam di Sindanglaut yang memang sampai saat ini banyak terdapat tanaman bambu/awi yang jenisnya bermacam-macam.
Pada awal penyebaran agama islam,Pangeran Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana/KiSomadullah/Haji Abdullah Iman/Pangeran Sapujagat/Ki Kuwu Caruban II berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Cirebon yang beragama Hindu atau Budha.oleh karena keberhasilannya itulah beliau mendapat sebutan Pangeran Sejagat,salah satu negeri/kerajaan yang berhasil di taklukannya adalah Negri Japura[sekarang disebut Astanajapura]yang merupakan bagian dari Kerajaan Galuh,kerajaan Japura pada saat itu di Pimpin oleh Prabu Amuk Marugul Sakti Mandraguna karena terkenal akan kesaktiannya.
Setelah menaklukan Negri Japura,Pangeran Sapujagat bersama para prajurit singgah di Dukuh Awi tepatnya di Sindang Pncuran sekarang,sedangkan pusat Pedukuhan Dukuh Awi terletak di ujung Barat yang sekarang dikenal dengan sebutan Sindang Kosong[Daerah Dangdeur].
Adapun tempat persinggahan Pangeran Sapujagat dan para prajurinya itu disebut Sindang Pancuran,karena ditempat itu terdapat mata air yang memancar yang ditemukan oleh Pangeran Sela Ganda dan Pangeran Sela Rasa,dengan pertimbangan bahwa mata air itu merupakan sumber kehidupan masyarakat,maka diadakanlah musyawarah para tokoh Dukuh Awi,yakni :
- Pangeran Cakrabuana/Ki Kuwu Caruban II/Pangeran Sapujagat
- Pangeran Kuningan
- Pangeran Gelang
- Pangeran Galing
- Pangeran Sela Ganda
- Pangeran Sela Rasa
- Pangeran Demas
- Pangeran Selaka
- Patih Nurzaman
- Syekh Bakir
- Ki Bagus Tapa
- Ki Syi'ah
- Ki Sumur Tutup
- Mbah Pulung
- Nyi Sondhara
- Nyi Sondhari
- Nyi Subanglarang/Nyi Subang Krancang
- Nyi Randa Embat Kasih
Dari hasil musyawarah adalah masyarakat yang tinggal di Sindang Kosong[Daerah Dangdeur]dipindahkan ke lokasi yang dekat dengan mata air Pancuran berikut pusat Pedukuhannya kesebelah Timur sungai CiPutih[sekarang termasuk Blok Manis],hal ini untuk memperluas hubungan dengan Pedukuhan lain serta untuk memperlancar proses Islamisasi,dalam musyawarah tersebut disepakati pula bahwa nama Duku Awi dirubah dengan nama Sindanglaut yang artinya tempat persinggahan Pangeran Sapujagat/Ki Kuwu Caruban II bersama Prajurit.
Setelah beberapa lama Pangeran Sapujagat bersama para prajuritnya singgah beristirahat di Sindang Pancuran,beliau melanjutkan perjuangannya menyebarkan islam ke wilayah lain.Agar tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak lawan,pra prajurit diperintahkan menyamar sebagai rakyat biasa dan atas usul Patih Nurzaman[asal Campa]yang telah bergabung dengan prajurit Pangeran Sapujagat para prajurit itu mengubur sebagian persenjataan dan perbekalannya.
Kuburan persenjataan dan alat perbekalan Pangeran Sapujagat dan para prajurit itu sekarang masih ada di areal pemakaman Sindang Pancuran,yang bersama mata air Pancuran peninggalan Pangeran Sapujagat masih dikeramatkan oleh sebagian masyarakat,untuk memenuhi kebutuhan air bagi penduduk dibuatlah Pancuran kedua yang berlokasi disebelah selatan pancuran pertama.
Di dalam perkembangan selanjutnya,pusat Pemerintahan Desa Sindanglaut telah tiga kali berpindah tempat yakni :
1.Di Sindang Kosong[Dangdeur sebagai pusat Pedukuhan Dukuh Awi
2.Di Sindang Tengah[Sekarang termasuk Blok Manis]
3.Di Sindang Tengah bagian Timur[Sekarang termasuk Blok Pahing]
Pindahnya pusat Pemerintahan dari Sindang Tengah bagian Barat[Blok Manis]ke bagian Timur[Blok Pahing]itu terjadi sekitar tahun 1811 pada jaman Pendudukan Refles/Inggris di Indonesia,dengan alasan untuk memudahkan hubungan/komunikasi antar desa lain dan antar desa dengan Kota.
Demikian sejarah ini yang bisa kami sajikan semoga ada manf'at didalam isi cerita ini karena berkat beliau para leluhur kita bisa bertempat tinggal terutama masyarakat Sindanglaut agar untuk menyempatkan bersilaturahim mendo'akan nama-nama para leluhur tersebut,semoga bermanfa'at.amin
Sebelu agama islam berkembang Desa Sindanglaut ini dahulunya merupakan suatu pedukuhan yang bernama Pedukuhan''DUKUH AWI''Dukuh artinya daerah atau tempat kediaman dan Awi[bhs Sunda artinya Bambu].jadi ''Dukuh Awi''berarti daerah berbambu/tempat tumbuhan bambu,nama tersebut berkaitan dengan keadaan alam di Sindanglaut yang memang sampai saat ini banyak terdapat tanaman bambu/awi yang jenisnya bermacam-macam.
Pada awal penyebaran agama islam,Pangeran Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana/KiSomadullah/Haji Abdullah Iman/Pangeran Sapujagat/Ki Kuwu Caruban II berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Cirebon yang beragama Hindu atau Budha.oleh karena keberhasilannya itulah beliau mendapat sebutan Pangeran Sejagat,salah satu negeri/kerajaan yang berhasil di taklukannya adalah Negri Japura[sekarang disebut Astanajapura]yang merupakan bagian dari Kerajaan Galuh,kerajaan Japura pada saat itu di Pimpin oleh Prabu Amuk Marugul Sakti Mandraguna karena terkenal akan kesaktiannya.
Setelah menaklukan Negri Japura,Pangeran Sapujagat bersama para prajurit singgah di Dukuh Awi tepatnya di Sindang Pncuran sekarang,sedangkan pusat Pedukuhan Dukuh Awi terletak di ujung Barat yang sekarang dikenal dengan sebutan Sindang Kosong[Daerah Dangdeur].
Adapun tempat persinggahan Pangeran Sapujagat dan para prajurinya itu disebut Sindang Pancuran,karena ditempat itu terdapat mata air yang memancar yang ditemukan oleh Pangeran Sela Ganda dan Pangeran Sela Rasa,dengan pertimbangan bahwa mata air itu merupakan sumber kehidupan masyarakat,maka diadakanlah musyawarah para tokoh Dukuh Awi,yakni :
- Pangeran Cakrabuana/Ki Kuwu Caruban II/Pangeran Sapujagat
- Pangeran Kuningan
- Pangeran Gelang
- Pangeran Galing
- Pangeran Sela Ganda
- Pangeran Sela Rasa
- Pangeran Demas
- Pangeran Selaka
- Patih Nurzaman
- Syekh Bakir
- Ki Bagus Tapa
- Ki Syi'ah
- Ki Sumur Tutup
- Mbah Pulung
- Nyi Sondhara
- Nyi Sondhari
- Nyi Subanglarang/Nyi Subang Krancang
- Nyi Randa Embat Kasih
Dari hasil musyawarah adalah masyarakat yang tinggal di Sindang Kosong[Daerah Dangdeur]dipindahkan ke lokasi yang dekat dengan mata air Pancuran berikut pusat Pedukuhannya kesebelah Timur sungai CiPutih[sekarang termasuk Blok Manis],hal ini untuk memperluas hubungan dengan Pedukuhan lain serta untuk memperlancar proses Islamisasi,dalam musyawarah tersebut disepakati pula bahwa nama Duku Awi dirubah dengan nama Sindanglaut yang artinya tempat persinggahan Pangeran Sapujagat/Ki Kuwu Caruban II bersama Prajurit.
Setelah beberapa lama Pangeran Sapujagat bersama para prajuritnya singgah beristirahat di Sindang Pancuran,beliau melanjutkan perjuangannya menyebarkan islam ke wilayah lain.Agar tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak lawan,pra prajurit diperintahkan menyamar sebagai rakyat biasa dan atas usul Patih Nurzaman[asal Campa]yang telah bergabung dengan prajurit Pangeran Sapujagat para prajurit itu mengubur sebagian persenjataan dan perbekalannya.
Kuburan persenjataan dan alat perbekalan Pangeran Sapujagat dan para prajurit itu sekarang masih ada di areal pemakaman Sindang Pancuran,yang bersama mata air Pancuran peninggalan Pangeran Sapujagat masih dikeramatkan oleh sebagian masyarakat,untuk memenuhi kebutuhan air bagi penduduk dibuatlah Pancuran kedua yang berlokasi disebelah selatan pancuran pertama.
Di dalam perkembangan selanjutnya,pusat Pemerintahan Desa Sindanglaut telah tiga kali berpindah tempat yakni :
1.Di Sindang Kosong[Dangdeur sebagai pusat Pedukuhan Dukuh Awi
2.Di Sindang Tengah[Sekarang termasuk Blok Manis]
3.Di Sindang Tengah bagian Timur[Sekarang termasuk Blok Pahing]
Pindahnya pusat Pemerintahan dari Sindang Tengah bagian Barat[Blok Manis]ke bagian Timur[Blok Pahing]itu terjadi sekitar tahun 1811 pada jaman Pendudukan Refles/Inggris di Indonesia,dengan alasan untuk memudahkan hubungan/komunikasi antar desa lain dan antar desa dengan Kota.
Demikian sejarah ini yang bisa kami sajikan semoga ada manf'at didalam isi cerita ini karena berkat beliau para leluhur kita bisa bertempat tinggal terutama masyarakat Sindanglaut agar untuk menyempatkan bersilaturahim mendo'akan nama-nama para leluhur tersebut,semoga bermanfa'at.amin
Sejarah Asal Usul Desa Sigong
Alkisah pada masa perkembangan islam yang sangat pesat di
tanah jawa khususnya di Cirebon yang dimotori oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati
pada masa itu,tidaklah heran apabila banyak orang yang ingin berguru kepadanya
untuk memperdalam ajaran islam,karena mereka yakin bahwa agama islam merupakan
tuntunan bagi umatnya baik untuk di dunia maupun di akhirat di alam
kelanggengan nanti.
Ucap cerita para santri/murid yang sudah pernah berguru pada Sunan Gunung Jati merasa terpanggil untuk ikut serta dalam menyiarkan agama islam di tanah Cirebon sesuai dengan petunjuk dan amanat yang telah ditanamkan kepada seluruh santri santrinya selama menimba ilmu yang begitu cukup lama.
Diantaranya para santri/murid yang berguru pada Sunan Gunung Jati,namanya Ki Kanum dan Ki Serut merupakan murid yang dapat dipercaya untuk ikut bagian dalam menyiarkan agama islam,hingga pada suatu saat Ki Kanum dan Ki Serut mendapat tugas untuk menyiarkan agama islam di wilayah Cirebon Timur.
Setelah mendapat tugas mulia dari Sunan Gunung Jati mereka memohon diri dan mohon doa restu untuk berangkat sesuai yang telah di amanatkan oleh Sunan Gunung Jati.
Kepergian mereka berdua dalam pengembaraaannya dilakukan dengan rasa senang hati,walaupun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan dari hari kehari,minggu keminggu bahakan bulan berganti bulan keluar hutan masuk hutan hingga pada suatu saat ia berada di sebuah hutan belantara yang sangat subur makmur,maka disitulah mereka lalu membuat tempat berteduh,semakin lama mereka berada di tempat tersebut dan semakin betah,karena alamnya yang begitu subur juga aliran sungai/kali yang mengalir cukup jernih,lalu mereka mencoba untuk totor alas/hutan untuk dijadikan pemukiman dan ladang mereka untuk kehidupan sehari-hari.
Melihat ladang yang mereka garap sangat subur,sehingga hasilnyapun sangat memuaskan,sehingga lama kelamaan pemukiman tersebut banyak di datangi oleh orang-orang yang ingin mencari kehidupan baru,kedatangan mereka tersebut oleh Ki Kanum dan Ki Serut disambut dengan rasa senang hati sambil diajarkan cara tanam di ladang yang ia garap,sedangkan pada waktu malam mereka diajarkan tentang agama Islam hingga larut malam.
Tentu saja dengan rasa senang hati mereka belajar di segala bidang ilmu,maka ki Kanum dan ki Serut membimbing mereka sangat luwes dan tegas,sehingga mereka merasa segan kepada Ki Kanum.Di tempat tersebut kehidupannya sangat tentram ayem tak seorangpun berani mengganggunnya walau pada masa itu banyak begal/perampok tapi tidak seorangpun yang berani mengusik ketenangan yang ada dilokasi tersebut.
Diwilayah pemukiman itu terdapat kali yang bernama Ciamis,dikali tersebut dengan secara tiba-tiba menjadi suatu daratan yang dapat digunakan sebagai ladang pertanian,ladang tersebut setelah dikelola hasilnya sangat memuaskan,sehingga mereka semakin rajin mengelolah ladang tsb,sedang asyik-asyiknya ia menggarap/mencangkul tiba-tiba diketemukan sebuah alat kesenian berupa GOONG,kemudian benda tersebut ia rawat dengan baik,bahkan dapat dipergunakan manakala mau mengadakan musyawarah dengan memukul Goong tsb musyawarah yang biasanya mereka pergunakan pada waktu menerima ilmu dari Ki Kanum,sehingga tempat tsb dinamakan Sigong.
Pada waktu sore hari menjelang Ashar banyak orang-orang yang mau mandi dan mengambil air wudlu untuk sholat,kebanyakan orang-orang mandi di kali Ciamis itu adalah orang yang dianggap masih mempunyai darah Biru/orang Agung,sehingga kali tsb sampai sekarang dinamakan Kali Agung.
Lama kelamaan permukiman tersebut berkembang dengan pesat walaupun yang ada di daerah itu satu sama lain merupakan orang pendatang,akan tetapi ia hidup rukun dan damai,berkat bimbingan dan didikan Ki Kanum yang telah ditanamkan kepada mereka,Ki Kanum dan Ki Serut semakin lanjut usianya,hingga pada suatu saat ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Dan untuk selanjutnya cita-cita yang menuju masyarakat mengerti tentang ajaran islam kepada anak cucunya kelak dikemudian hari,maka Embah Kuwu Bagong meneruskannya.Embah Kuwu Bagong merasa perlu menjalin kerjasama dengan Ki Kholil Asmanudin dari Ender,untuk merintis dan mengembangkan ajaran agama islam kepada anak didiknya dengan mendirikan Pesantren yang diberi nama Salafiyah yang hingga sekarang masih berkembang di Desa Sigong.
Catatan : perlu kita ambil hikmahnya begitu tulus dan ikhlasnya para leluhur desa sigong yang telah berjuang membabat alas/hutan hingga menjadi sebuah perkampungan/Desa dan memberikan pelajaran dunia berupa cara bercocok tanam/pertanian dan pelajaran hal syiar Agama Islam hingga sampai sekarang masyarakt di desa itu mayoritas beragama Islam,kami sebagai penerus sungguh bangga atas apa yang telah diwariskan kepada masyarakat Sigong,ambil semua hikmah yang ada didlam cerita ini dan jangan lupa mendo'akan mereka gimanpun Allah telah memeberikan jalan pada masyarakat Sigong akan ketokohannya,adanya kita bertempat di desa tersebut ya adanya jasa dari beliau,amin.
Ucap cerita para santri/murid yang sudah pernah berguru pada Sunan Gunung Jati merasa terpanggil untuk ikut serta dalam menyiarkan agama islam di tanah Cirebon sesuai dengan petunjuk dan amanat yang telah ditanamkan kepada seluruh santri santrinya selama menimba ilmu yang begitu cukup lama.
Diantaranya para santri/murid yang berguru pada Sunan Gunung Jati,namanya Ki Kanum dan Ki Serut merupakan murid yang dapat dipercaya untuk ikut bagian dalam menyiarkan agama islam,hingga pada suatu saat Ki Kanum dan Ki Serut mendapat tugas untuk menyiarkan agama islam di wilayah Cirebon Timur.
Setelah mendapat tugas mulia dari Sunan Gunung Jati mereka memohon diri dan mohon doa restu untuk berangkat sesuai yang telah di amanatkan oleh Sunan Gunung Jati.
Kepergian mereka berdua dalam pengembaraaannya dilakukan dengan rasa senang hati,walaupun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan dari hari kehari,minggu keminggu bahakan bulan berganti bulan keluar hutan masuk hutan hingga pada suatu saat ia berada di sebuah hutan belantara yang sangat subur makmur,maka disitulah mereka lalu membuat tempat berteduh,semakin lama mereka berada di tempat tersebut dan semakin betah,karena alamnya yang begitu subur juga aliran sungai/kali yang mengalir cukup jernih,lalu mereka mencoba untuk totor alas/hutan untuk dijadikan pemukiman dan ladang mereka untuk kehidupan sehari-hari.
Melihat ladang yang mereka garap sangat subur,sehingga hasilnyapun sangat memuaskan,sehingga lama kelamaan pemukiman tersebut banyak di datangi oleh orang-orang yang ingin mencari kehidupan baru,kedatangan mereka tersebut oleh Ki Kanum dan Ki Serut disambut dengan rasa senang hati sambil diajarkan cara tanam di ladang yang ia garap,sedangkan pada waktu malam mereka diajarkan tentang agama Islam hingga larut malam.
Tentu saja dengan rasa senang hati mereka belajar di segala bidang ilmu,maka ki Kanum dan ki Serut membimbing mereka sangat luwes dan tegas,sehingga mereka merasa segan kepada Ki Kanum.Di tempat tersebut kehidupannya sangat tentram ayem tak seorangpun berani mengganggunnya walau pada masa itu banyak begal/perampok tapi tidak seorangpun yang berani mengusik ketenangan yang ada dilokasi tersebut.
Diwilayah pemukiman itu terdapat kali yang bernama Ciamis,dikali tersebut dengan secara tiba-tiba menjadi suatu daratan yang dapat digunakan sebagai ladang pertanian,ladang tersebut setelah dikelola hasilnya sangat memuaskan,sehingga mereka semakin rajin mengelolah ladang tsb,sedang asyik-asyiknya ia menggarap/mencangkul tiba-tiba diketemukan sebuah alat kesenian berupa GOONG,kemudian benda tersebut ia rawat dengan baik,bahkan dapat dipergunakan manakala mau mengadakan musyawarah dengan memukul Goong tsb musyawarah yang biasanya mereka pergunakan pada waktu menerima ilmu dari Ki Kanum,sehingga tempat tsb dinamakan Sigong.
Pada waktu sore hari menjelang Ashar banyak orang-orang yang mau mandi dan mengambil air wudlu untuk sholat,kebanyakan orang-orang mandi di kali Ciamis itu adalah orang yang dianggap masih mempunyai darah Biru/orang Agung,sehingga kali tsb sampai sekarang dinamakan Kali Agung.
Lama kelamaan permukiman tersebut berkembang dengan pesat walaupun yang ada di daerah itu satu sama lain merupakan orang pendatang,akan tetapi ia hidup rukun dan damai,berkat bimbingan dan didikan Ki Kanum yang telah ditanamkan kepada mereka,Ki Kanum dan Ki Serut semakin lanjut usianya,hingga pada suatu saat ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Dan untuk selanjutnya cita-cita yang menuju masyarakat mengerti tentang ajaran islam kepada anak cucunya kelak dikemudian hari,maka Embah Kuwu Bagong meneruskannya.Embah Kuwu Bagong merasa perlu menjalin kerjasama dengan Ki Kholil Asmanudin dari Ender,untuk merintis dan mengembangkan ajaran agama islam kepada anak didiknya dengan mendirikan Pesantren yang diberi nama Salafiyah yang hingga sekarang masih berkembang di Desa Sigong.
Catatan : perlu kita ambil hikmahnya begitu tulus dan ikhlasnya para leluhur desa sigong yang telah berjuang membabat alas/hutan hingga menjadi sebuah perkampungan/Desa dan memberikan pelajaran dunia berupa cara bercocok tanam/pertanian dan pelajaran hal syiar Agama Islam hingga sampai sekarang masyarakt di desa itu mayoritas beragama Islam,kami sebagai penerus sungguh bangga atas apa yang telah diwariskan kepada masyarakat Sigong,ambil semua hikmah yang ada didlam cerita ini dan jangan lupa mendo'akan mereka gimanpun Allah telah memeberikan jalan pada masyarakat Sigong akan ketokohannya,adanya kita bertempat di desa tersebut ya adanya jasa dari beliau,amin.
Prabu Kiansantang adlah
seorang tokoh tasawuf dari tanah pasundan yang ceritanya begitu melegenda
khususnya di hati masayarakat pasundan dan kaum tasawuf di tanah air pada
umumnya.Tokoh Prabu Kiansantang ini pertama kali berhembus dan dikisahkan oleh
Raden Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang ketika menyebarkan Islam di tanah
Cirebon dan Pasundan,Pangeran Cakrabuana adalah anak dari Kanjeng Prabu
Siliwangi atau Prabu Jaya Dewata Raja Pajajaran,yang dilahirkan dari Permaisuri
ketiga yang bernama Nyi Subang Larang,Nyi Subang Larang sendiri murid dari
Mubalig Kondang yaitu Syeh Maulana Hasanudin atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Syeh Kuro Krawang.
Pada waktu itu ketika Raden Walangsungsang memilih untuk pergi meninggalkan Galuh Pakuan atau Pajajaran,yang disebabkan oleh keberadaan haluan dengan keyakinan ayahanya yang memeluk agama''Shangyang''pada waktu itu.Diriwayatkan beliau berkelana menyi'arkan Islam bersama adiknya yaitu Rara Santang[Ibu dari Syarif Hidayatullah atau''Sunan Gunungjati''] dengan membuka perkampungan di pesisir utara yang menjadi cikal bakal Kerajaan Caruban atau Kasunanan Cirebon yang sekarang adalah''Kota Madya Cirebon''.
Legenda Kian Santang sendiri diambil dari sebuah kisah nyata,dari tanah Pasundan tempo dulu yang ceritanya pada waktu itu tersimpan rapi berbentuk buku Perpustakaan Kerajaan Pajajaran,karena Pajajaran adalah hasil penyatuan dua kerajaan antara Galuh dan Kerajaan Sunda Pura yang dimana kerajaan Galuh dan Sundapura adalah dua kerajaan pecahan dari Tarumanegara,yang dimasa Prabu Purna Warman yaitu Raja ketiga dari kerajaan Taruma Negara yang pecah menjadi Tarumanegara yang berganti Sundapura dan Ibukota lama menjadi Galuh Pakuan,dan Jaya Dewata menyatukan kembali dua pecahan Kerajaan Tarumanegara menjadi Pajajaran.
Dimana di kisahkan pada waktu abad 4M atau tahun 450 pernah terdapat putera mahkota yang sakti mandraguna bernama Gagak Lumayung yang dalam ceritanya''ditataran sunda dan sekitarnya,tak ada yang mampu mengalahkan ilmu kesaktiannya,hingga suatu saat datang pasukan dari Dinasti Tang yang hendak menaklukan kerajaan Tarumanegara,namun berkat Gagak Lumayung,pasukan Tang dapat dihalau dan tunggang langgang meninggalkan Tarumanegara.
Semenjak itu Raden Gagak Lumayung deberi sebutan ''KIANSANTANG''atau ''Penakluk pasukan Tang'' Diceritakan Sang Kiansantang ini karena saking saktinya hingga ia rindu kepingin melihat darahnya sendiri,hingga sampailah disuatu ketika sa'at dia mendapat wangsit di tapabratanya bahwa di tanah Arab terdapat orang sakti mandraguna,konon dengan ajian Napak Sancangnya Raden Kian Santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja.''Dimana dalam ceritanya ketika sampai di pesisir beliau bertemu seorang kakek dan padanya dia minta untuk di tunjukan dimana orang sakti yang Kian Santang maksud tersebut''.Dan dengan senang hati di kakek tersebut menyanggupinya dan sementara di amengajak beliau''Kian Santang''untuk mampir dulu kerumahnya.
Al-kisah setelah sampai dirumahnya tongkat dari sang kakek tersebut tertinggal di pesisir dan minta Kian Santang untuk mengambilnya,konon dikisahkan Kian Santang tak mampu mencabutnya sampai tangannya berdarah-darah,disitulah Kian Santang baru sadar kalu kakek itu adalah orang yang dicarinya.Dan akhirnya dengan membaca kalimah Syahadat yang diajarkan Sang kakek tadi''yang akhirnya menjadi guru spiritualnya''Tongkat tersebut dapat di cabutnya''
Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang,dan yang aneh kebanyakan orang menduga kalau Kian Santang itu Raden Walangsungsang,padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah Raden Walangsungsang tersebut,yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan justru dialah si pelaku[Raden Walang Sungsang atau Pangeran Cakrabuana]sebagai tokoh yang diceritakannya itu.Tujuan adalah hanya sebagai media dakwah dan penyebaran Islam di bumi Cirbon dan sekitarnya,sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka Raden Walangsungsang adalah Kian Santang bahkan ada yang menafikan Kian Santang adlah adik Cakrabuana dan kakak dari Rarasantang.
Raden Walangsungsang mengambil cerita ini dari Perpustakaan Kerajaan Pajajaran dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya,yang di mana Kian Santang setelah pulang dari Arab dia ingin mengislamkan ayahandanya Prabu Purnawarman namun ditolaknya dan Kian Santang memilih meninggalkan Istana dan tahtanya diberikan pada adiknya Darmayawarman,begitu pula Raden Walangsungsang yang pernah merantau ke Arab dan menikahkan adiknya Rarasantang yang di ambil istri oleh putra Kerajaan Mesir waktu itu dan pernikahan berlangsung di Mesir yang dari perkawinan inilah nanti akan lahirlah Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati.
Keinginan Walangsungsang untuk mengislamkan Prabu Siliwangi ditolak mentah-mentah dan ayahnya tidak inging bertarung dengan anaknya maka dia memilih mensucikan diri bertapa,konon beliau menjelma Macan Putih,pengambilan kisah penokohan dalam sebuah cerita seperti ini sebenarnya pernah pula terjadi pada era sebelum Raden Walasungsang yang tepatnya dilakukan oleh Raja Jaya-Baya[Raja Islam pertama di tanah Jawa]dari kerajaan Panjalu Kediri,dimana suaktu masih dipegang Raja Airlangga Kerajaan tersebut bernama Kahuripan dan karena kedua anaknya semua meminta tahta maka Kahuripan di bagi dua yaitu Panjalu dan Jenggala,sepanjang perkembangan dua kerajaan terseut selalu bermusuhan dan pada masa kerajaan Panjalu di Rajai oleh Jaya-Baya,panjalu mampu menaklukan Jenggala dan disatukan lagi antara Jenggala dan Panjalu.
Pada waktu menaklukan Jenggala Rajanya Jaya Baya meminta Empu Sedha dan Empu Panuluh untuk mengutip naskah dari India yang judulnya Maha Barata,namun di ferifikasi dengan gaya jawa,sebagai perlambang atas kemenangan perang saudara Panjalu dan Jenggala,yang akhirnya kitab tersebut di beri judul Barata-Yuda,dan dalam kisah klasik jawa ini banyak kalangan masyarakat yang mengira Jaya Baya adalah kelanjutan dari Trah Barata yaitu cicit dari Parikesit Putra Abimanyu.
Juga kisah lainnya yang srupa pernah pula hadir kemasyarakat yang tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan ajaran syariat terhadap kaum sufi,maka ketika bergerak menyebarkan Islam Walisanga menurut banyak kalangan membuat cerita al-halaq fersi Indonesia yaitu Syeh Siti Jenar,yang menurut Doktor Simon dari UGM Jogya berdasarkan temuannya karya-karya besar berupa naskah suluk dari Sunan Kalijaga dan lain sebagainya,dapat dipastikan tokoh Siti Jenar adalah Imajenar hanya untuk media dan melindungi Islam agar tetap pada ajaran ahlusunah wa jamaah.dan sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli sejarah di Tanah Air,nuhun Rahayu rahayu.
Pada waktu itu ketika Raden Walangsungsang memilih untuk pergi meninggalkan Galuh Pakuan atau Pajajaran,yang disebabkan oleh keberadaan haluan dengan keyakinan ayahanya yang memeluk agama''Shangyang''pada waktu itu.Diriwayatkan beliau berkelana menyi'arkan Islam bersama adiknya yaitu Rara Santang[Ibu dari Syarif Hidayatullah atau''Sunan Gunungjati''] dengan membuka perkampungan di pesisir utara yang menjadi cikal bakal Kerajaan Caruban atau Kasunanan Cirebon yang sekarang adalah''Kota Madya Cirebon''.
Legenda Kian Santang sendiri diambil dari sebuah kisah nyata,dari tanah Pasundan tempo dulu yang ceritanya pada waktu itu tersimpan rapi berbentuk buku Perpustakaan Kerajaan Pajajaran,karena Pajajaran adalah hasil penyatuan dua kerajaan antara Galuh dan Kerajaan Sunda Pura yang dimana kerajaan Galuh dan Sundapura adalah dua kerajaan pecahan dari Tarumanegara,yang dimasa Prabu Purna Warman yaitu Raja ketiga dari kerajaan Taruma Negara yang pecah menjadi Tarumanegara yang berganti Sundapura dan Ibukota lama menjadi Galuh Pakuan,dan Jaya Dewata menyatukan kembali dua pecahan Kerajaan Tarumanegara menjadi Pajajaran.
Dimana di kisahkan pada waktu abad 4M atau tahun 450 pernah terdapat putera mahkota yang sakti mandraguna bernama Gagak Lumayung yang dalam ceritanya''ditataran sunda dan sekitarnya,tak ada yang mampu mengalahkan ilmu kesaktiannya,hingga suatu saat datang pasukan dari Dinasti Tang yang hendak menaklukan kerajaan Tarumanegara,namun berkat Gagak Lumayung,pasukan Tang dapat dihalau dan tunggang langgang meninggalkan Tarumanegara.
Semenjak itu Raden Gagak Lumayung deberi sebutan ''KIANSANTANG''atau ''Penakluk pasukan Tang'' Diceritakan Sang Kiansantang ini karena saking saktinya hingga ia rindu kepingin melihat darahnya sendiri,hingga sampailah disuatu ketika sa'at dia mendapat wangsit di tapabratanya bahwa di tanah Arab terdapat orang sakti mandraguna,konon dengan ajian Napak Sancangnya Raden Kian Santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja.''Dimana dalam ceritanya ketika sampai di pesisir beliau bertemu seorang kakek dan padanya dia minta untuk di tunjukan dimana orang sakti yang Kian Santang maksud tersebut''.Dan dengan senang hati di kakek tersebut menyanggupinya dan sementara di amengajak beliau''Kian Santang''untuk mampir dulu kerumahnya.
Al-kisah setelah sampai dirumahnya tongkat dari sang kakek tersebut tertinggal di pesisir dan minta Kian Santang untuk mengambilnya,konon dikisahkan Kian Santang tak mampu mencabutnya sampai tangannya berdarah-darah,disitulah Kian Santang baru sadar kalu kakek itu adalah orang yang dicarinya.Dan akhirnya dengan membaca kalimah Syahadat yang diajarkan Sang kakek tadi''yang akhirnya menjadi guru spiritualnya''Tongkat tersebut dapat di cabutnya''
Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang,dan yang aneh kebanyakan orang menduga kalau Kian Santang itu Raden Walangsungsang,padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah Raden Walangsungsang tersebut,yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan justru dialah si pelaku[Raden Walang Sungsang atau Pangeran Cakrabuana]sebagai tokoh yang diceritakannya itu.Tujuan adalah hanya sebagai media dakwah dan penyebaran Islam di bumi Cirbon dan sekitarnya,sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka Raden Walangsungsang adalah Kian Santang bahkan ada yang menafikan Kian Santang adlah adik Cakrabuana dan kakak dari Rarasantang.
Raden Walangsungsang mengambil cerita ini dari Perpustakaan Kerajaan Pajajaran dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya,yang di mana Kian Santang setelah pulang dari Arab dia ingin mengislamkan ayahandanya Prabu Purnawarman namun ditolaknya dan Kian Santang memilih meninggalkan Istana dan tahtanya diberikan pada adiknya Darmayawarman,begitu pula Raden Walangsungsang yang pernah merantau ke Arab dan menikahkan adiknya Rarasantang yang di ambil istri oleh putra Kerajaan Mesir waktu itu dan pernikahan berlangsung di Mesir yang dari perkawinan inilah nanti akan lahirlah Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati.
Keinginan Walangsungsang untuk mengislamkan Prabu Siliwangi ditolak mentah-mentah dan ayahnya tidak inging bertarung dengan anaknya maka dia memilih mensucikan diri bertapa,konon beliau menjelma Macan Putih,pengambilan kisah penokohan dalam sebuah cerita seperti ini sebenarnya pernah pula terjadi pada era sebelum Raden Walasungsang yang tepatnya dilakukan oleh Raja Jaya-Baya[Raja Islam pertama di tanah Jawa]dari kerajaan Panjalu Kediri,dimana suaktu masih dipegang Raja Airlangga Kerajaan tersebut bernama Kahuripan dan karena kedua anaknya semua meminta tahta maka Kahuripan di bagi dua yaitu Panjalu dan Jenggala,sepanjang perkembangan dua kerajaan terseut selalu bermusuhan dan pada masa kerajaan Panjalu di Rajai oleh Jaya-Baya,panjalu mampu menaklukan Jenggala dan disatukan lagi antara Jenggala dan Panjalu.
Pada waktu menaklukan Jenggala Rajanya Jaya Baya meminta Empu Sedha dan Empu Panuluh untuk mengutip naskah dari India yang judulnya Maha Barata,namun di ferifikasi dengan gaya jawa,sebagai perlambang atas kemenangan perang saudara Panjalu dan Jenggala,yang akhirnya kitab tersebut di beri judul Barata-Yuda,dan dalam kisah klasik jawa ini banyak kalangan masyarakat yang mengira Jaya Baya adalah kelanjutan dari Trah Barata yaitu cicit dari Parikesit Putra Abimanyu.
Juga kisah lainnya yang srupa pernah pula hadir kemasyarakat yang tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan ajaran syariat terhadap kaum sufi,maka ketika bergerak menyebarkan Islam Walisanga menurut banyak kalangan membuat cerita al-halaq fersi Indonesia yaitu Syeh Siti Jenar,yang menurut Doktor Simon dari UGM Jogya berdasarkan temuannya karya-karya besar berupa naskah suluk dari Sunan Kalijaga dan lain sebagainya,dapat dipastikan tokoh Siti Jenar adalah Imajenar hanya untuk media dan melindungi Islam agar tetap pada ajaran ahlusunah wa jamaah.dan sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli sejarah di Tanah Air,nuhun Rahayu rahayu.
SEJARAH NAMA DESA KARANGMEKAR
Asal Cerita Rakyat Desa Karangmekar,Kecamatan Karangsembung,Kabupaten
Cirebon
Asal dari Desa Kubangkarang dan terwujud dari Desa Kubangkelor dan Desa Karangsembung Wetan.
Pada masa zaman Wali Sanga,Syeh Syarif Hidayatullah,Sultan Gunung Jati Cirebon,sebagai Imam Wali dan sebagai Penasihat Wali ialah Pangeran Cakra Buana alias Embah Kuwu Sangkan alias Embah Kuwu Cirebon.
Kisah pada suatu ketika di Keraton Cirebon sedang mengadakan musayawarah yang di hadiri oleh Sultan Kalijaga,para Pangeran Cirebon dan hadiri pula oleh Embah Kuwu Cirebon,dalam musyawarah tersebut sedang memperbincangkan rencana untuk mmembuat suatu kampung/desa/pedukuhan yang akan diberi Gebang Kinatar.
Didalam musyawarah mendapat keputusan bahwa Emah Kuwu Cirebon untuk di tugaskan mencari tempat kesebelah timur yang ditemani oleh gadeknya yakni Embah Berai,adapun Sultan Cirebon dan Sunan Kalijaga,serta para Pinangeran ke daerah Lurah Agung Kuningan.
Keberangkatan Embah Kuwu Cirebon Girang yang disertai Embah Berai sambil menunggangi JaranArbapuspa /Kuda Sembrani menuju kearah timur,dikarenakan keadaan masih hutan belantara maka dalam penelitian sangat hati-hati sebab untuk dijadikan suatu Pedukuhan/desa,dalam perjalanan Embah Kuwu Cirebon dan Embah Berai sampailah di suatu tempat,beliau melihat suatu Cahaya yang sangat menarik perhatian,setelah di telusuri terdapat dataran yang resik dan ada sebuah Kubang/Balong,kemudian Embah Kuwu Cirebon bersemedi,agar kelak di hari kemudian akan menjadi desa yang Aman Tentrem Loh Jinawi Kerto Raharjo,kaya orang rerawat miskin Ora Gegolet [Hidup Sederhana] setelah mendapatkan Rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa,Embah Kuwu dengan memandang yang jauh meyakinkan,bahwa tempat ini bisa dijadikan Pedukuhan/Desa,kemudian untuk tanda bukti dan ciri,Embah Kuwu Cirebon menancapkan Tongkat disebelah barat Kubangan dan Embah Kuwu bersama Embah Berai dengan menunggang Kuda/Jaran tersebut menuju Lurah Agung Kuningan dimana para Wali dan Pangeran menunggunya,kemudian Embah Kuwu Cirebon melaporkan hasil kerjanya kepada Sultan Cirebon,sambil menunjuk kearah utara dengan berbahasa jawa,KUH BANG ELOR ANA TEMPAT KANG BAGUS LAN RESIK KANGGO DI DAIAKEN PENDUKUHAN/DESA LAN WIS DI UPAI CIRI/tanda sebelah Kulon Kubang wis ditancepi tongkat.
Yang akhirnya di dalam musyawarah Sultan Cirebon tertarik dengan kalimat/pembicaraan Embah Kuwu Cirebon,maka minta persetujuan bahwa penduduk/Desa diberi nama''KUBANGKELOR'' mengambil kalimat dari KUH EBANG DINGIN KERSANING MAHA SUCI para wali dan para pinangeran sangat menyetujuinya untuk untuk diberi nama''KUBANGKELOR''.
Menurut cerita bahwa Tongkat Embah Kuwu Cirebon yang di tancapkan kersaning Yang Maha Kuasa lan Pemurah menjadi sebatang Pohon Gebang.
Yang selanjutnya di musayawarahkan untuk membuat pedukuhan/desa yang pantas untuk memeliharanya,akhirnya hasil musyawarah diserahkan kepada ke 4 orang anaknya Embah Kuwu Cirebon dengan nama masing-masing :
1.Sang Ratu Imas Geulis Anom
2.Pangeran Guru Maya,yang ditempatkan disebelah Girang dan Kawentar Hulu Dayeuh.
3.Pangeran Gegesang/Pangeran Maya Giri/Pangeran Panuhunan yang ditempatkan ditengah dayeuh.
4.Pangeran Sang Hyang Rancasan yang di sebut juga Pangeran Giri Laya[Pangeran Seberang Lautan]
yang di tempatkan sebelah utara dengan Kawentar Birit Dayeuh.
Dalam melaksanakan membuat desa tersebut Empat bersaudara sangat bersatu bahu membahu dan dibantu oleh Masyarakat yang berdatangan berasal dari daerah Pasundan.Di dalam keputusan musyawarah seminggu sekali setiap hari Selasa di adakan musyawarah yang selalu dihadiri Embah Kuwu Cirebon Girang dan tidak ketinggalan dihadiri oleh Embah Berai yang selalu menunggangi Jaran Se,brani,dan di sebelah barat pohon Gebang di buat Istal/tempat Kuda dan sering di sebut dengan Blok erbang/Pagebangan[sebelah Timur menjadi Balai Desa sekarang] setelah menjadi Desa Kubangkelor keadaan menjadi aman tentram kerta raharja banyak masyarakat berdatangan dari daerah Kuningan untuk menjadi warga Desa Kubangkelor.
Dengan singkat cerita setelah Wafatnya ke Empat Bersaudara yang dikebumikan di masing-masing tempatnya,selanjutnya dalam melanjutkan pemeliharaan Desa dilanjutkan oleh keturunannya.
Terlisah yang melanjutkan mengurus Desa Kubangkelor adalah Embah Buyut Warsi/Embah Buyut Gembeng,yang mempunyai dua anak laki-laki yang pertama Ki Buyut Bekong dan ditempatkan sebelah Selatan Laut sekarang Desa Ender,dan yang ke dua Ki Buyut Winangun yang ditempatkan di sebelah Selatan Jalan laut yang sekarang Desa Pangenan pada waktu itu sebagai Cantilan Desa Kubangkelor.
Kehidupan dan penghidupan masyarakat Desa Kubangkelor kebanyakan para petani yang di pimpin langsung oleh Embah Buyut Warsi/Embah Gembeng.
Terkisah sewaktu musim menanam Padi dan kebetulan saluran pengairannya bersatu dengan Tanah Sawah Desa Karangmalang sedangkan pesawahan rakyat Kubangkelor,yang berada di sebelah Utara yang sekarang Blok Putat.Rakyat Tani Desa Kubangkelor setiap mengairi sawahnya selalu diganggu oleh Ki Buyut Jasmiran/Buyut Karangmalang,sedangkan Ki Buyut Jasmiran tidak pernah mencari air ke girang yang akhirnya oleh masyarakat di laporkan kepada KiBuyut Warsi/Buyut Gembeng oleh karena rasa tanggung jawab kepada masyarakat demi kemajuan pertanian yang akhirnya Buyut Warsi turun tangan dan diperintahkan kepada para petani supaya mengairi sawahnya dan akan diawasi oleh Buyut Warsi,ternyata kketika rakyat Tani sedang mengairi sawahnya,maka oleh Ki Buyut Jasmiran saluran air kejurusan Blok Putat di tambaknya rapat-rapat dan airnya di alirkan semuanya ke tanah Desa Karangmalang setelah di ketahui atas perbuatannya Ki Buyut Jasmiran tersebut maka oleh Ki Buyut Warsi yang akhirnya terjadilah perkelahian antara ki Buyut Jasmiran dan Ki Buyut Warsi dikarenakan Ki Buyut Jasmiran tidak mengakui atas perbuatannya,pertarungan/perkelahian terjadi selama 7 hari 7 malam masing-masing mempunyai kekuatan kesaktian,kekuatan Ki Buyut Jasmiran betul-betul kuat totosan bojana,kulit tidak mempan dengan segala perkakas,adapun kekuatan Ki Buyut Warsi/Gembeng mempunyai ilmu Banyu Sakti,apabila terkena sabetan Golok/Pedang bila terkena mengeper atau lunak seperti kena benda Karet dengan kelihatan Ki Buyut Warsi setiap memukul/menyabetkan Pedang/Goloknya selalu satu tempat saja,dengan pemikiran sekalipun bagaimana kuatnya kalau di sabet satu tempat pasti hancur,maka ternyata Buyut Jasmiran menyerah kepada Ki Buyut Warsi/Gembeng,yang akhirnya Ki Buyut Jasmiran mengeluarkan kata-kata kepada anak cucunya/kepada rakyat Karangmalang jangan kamu berani kepada rakyat Desa Kubangkelor dan beliau terus permisi pulang setelah memberikan amanat,Ki Buyut Jasmiran tidak pulang ke rumahnya tapi terus berdiam di Gubugnya di sebelah Utara Karangmalang sampai pada Wafatnya dan sampai sekarang dinamakan Blok Jasmiran adapun Ki Buyut Warsi terus pulang kerumahnya yang berada di Blok Tengah Dayeuh/Blok Keramat sampai Wafat.
-Terkisah entah Kuwu ke berapa Kuwu Kubangkelor namanya Bapak Pasmen sampai tahun 1902
-Pada tahun 1914 Desa Karangsembung tidak dapat melunasi Pajak maka oleh Pemerintah Daerah di
Mekarkan di bagi menjadi dua Desa sebelah Barat nama Desa Karangsembung Kulon dan sebelah Timur
Desa Karangsembung Wetan yang menjabat bapak Ijang yang melunasi pajak waktu itu Desa Kubangkelor
Pada tahun 1918 di adakan pemilihan Kuwu Desa Karangsembung Wetan dan terpilihlah Bapak Ahmad Bodong,dan diberhentikan tidak hormat dikarenakan melanggar administrasi,kemudian oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon di tawarkan kepada Kuwu Karangtengah untuk menyelesaikan administrasi Desa Karangsembung Wetan akan tetapi tidak bersedia dan oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon di tawarkan kepada Desa Kubangkelor pada waktu itu Kuwunya bapak Natawijaya dan sanggup bersedia untuk menyelesaikan administrasi.Tahun 1920,Kuwu Natawijaya mengadakan musyawarah yang disaksikan oleh Kecamatan dan Kabupaten untuk menyatukan Dua Desa yaitu Desa Kubangkelor dengan Karangsembung Wetan diambil Kubang dan Desa Karangsembung Wetan diambil Karang dijadikan satu Desa menjadi Desa Kubangkarang,bapak Kuwu Natawijaya sampai tahun 1928 sebagai Kuwu.
Terus berganti Kuwu :
-Bapak Kuwu Durgi tahun 1928-1932
-Bapak Kuwu Sutawijaya tahun 1932-1941
-Bapak Kuwu Emon tahun1941-1945
-Bapak Kuwu Saptari tahun 1945-1947
Dalam tahun 1947 masa kedaulatan rakyat yang menjabat Kuwu adalah Bapak Abdurahman jabatan Jurutulis.
Dalam tahun 1947 Agresi Belanda kembali menjajah Indonesia,semuanya para aparat Pemerintahan Desa Kubangkarang Angkatan 1945 meninggalkan Desa dan turut serta berjuang dengan Tentara Keamanan Rakyat[TKR].
Pemerintahan Desa kembali dipimpin oleh Bapak Saptari,Perangkat Desa dalam tahun 1948 seorang Pejuang yang melawan Belanda brnama Bapak Jarsa setelah tertembak sehingga mati oleh pasukan patroli Serdadu Belanda,sewaktu sedang melakukan ke Desa Kubangkarang.
Dalam tahun 1949 Pemerintah Kedaulatan Rakyat kembali merdeka,Pemerintah Belanda kembali kenegerinya dan Pemerintahan Desa Kubangkarang kosong pada saat itu,atas kebijakan Bapak Bupati Cirebon,menunjuk Bapak Abdurahman menjabat kembali untuk menyelesaikan administrasi Desa dan menyusun aparat Pemerintahan Desa,masyarakat desa mendukung pencalonan Kuwu tetapi Bapak Abdurahman tidak mau dicalonkan untuk menjadi Kuwu.
Pada tahun 1950 mengadakan pemilihan Kuwu desa Kubangkarang yang terpilih Bapak Kusba sampai tahun 1967,pada tahun 1967 mengadakan pemilihan Kuwu Desa Kubangkarang calonnya ada Tiga yaitu Bapak Kusba,Bapak Taryan,Bapak Warja,antara Bapak Kusba dan Bapak Taryan menang tipis beda satu saja yang dimenangkan oleh Bapak Taryan dari ABRI yaitu anggota CPM Cirebon.
Pada intinya : desa Karangmekar adalah Pamekaran Desa Kubangkarang
Batas dan Luas Wilayah
Desa Karangmekar,Kec.Karangsembung Kab.Cirebon
A.Luas Wilayah desa232.914 Ha/Km
B.Batas Wilayah
- Sebelah Utara : Desa Japura Kidul
- Sebelah Selatan : Desa Kubangkarang
- Sebelah Barat : Desa Sarajaya
- Sebelah Timur : Desa Karangmalang
Demikian kiranya bila ada kurang lebihnya mohon ma'af dan kami berharap untuk masyarakat Kubangkelor/Karangmekar patut bangga ternyata menurut sejarah Desa Kubangkelor adalah termasuk Desa yang menyimpan sejarah para leluhurnya yakni Prabu Kiansantang alias Embah Kuwu Cirebon Girang alias Eyang Cakrabuana alias Embah Kuwu Sangkan dan ditempati oleh keturunannya Para Pangeran Cirebon,harapan kami sebagai anak cucu dan keturunan jangan melupakan jasa beliau untuk senantiasa mengirimi do'a sebagai rasa penghormatan dan tali silaturahim baik dunia maupun talisilaturahim akhirat kang arane kirim Do'a. semoga Desa yang kita cintai mendapatkan Rhido Allah menjadi Desa kang Makmur seperti pada zaman para leluhur kita terdahulu.Amin
Asal dari Desa Kubangkarang dan terwujud dari Desa Kubangkelor dan Desa Karangsembung Wetan.
Pada masa zaman Wali Sanga,Syeh Syarif Hidayatullah,Sultan Gunung Jati Cirebon,sebagai Imam Wali dan sebagai Penasihat Wali ialah Pangeran Cakra Buana alias Embah Kuwu Sangkan alias Embah Kuwu Cirebon.
Kisah pada suatu ketika di Keraton Cirebon sedang mengadakan musayawarah yang di hadiri oleh Sultan Kalijaga,para Pangeran Cirebon dan hadiri pula oleh Embah Kuwu Cirebon,dalam musyawarah tersebut sedang memperbincangkan rencana untuk mmembuat suatu kampung/desa/pedukuhan yang akan diberi Gebang Kinatar.
Didalam musyawarah mendapat keputusan bahwa Emah Kuwu Cirebon untuk di tugaskan mencari tempat kesebelah timur yang ditemani oleh gadeknya yakni Embah Berai,adapun Sultan Cirebon dan Sunan Kalijaga,serta para Pinangeran ke daerah Lurah Agung Kuningan.
Keberangkatan Embah Kuwu Cirebon Girang yang disertai Embah Berai sambil menunggangi JaranArbapuspa /Kuda Sembrani menuju kearah timur,dikarenakan keadaan masih hutan belantara maka dalam penelitian sangat hati-hati sebab untuk dijadikan suatu Pedukuhan/desa,dalam perjalanan Embah Kuwu Cirebon dan Embah Berai sampailah di suatu tempat,beliau melihat suatu Cahaya yang sangat menarik perhatian,setelah di telusuri terdapat dataran yang resik dan ada sebuah Kubang/Balong,kemudian Embah Kuwu Cirebon bersemedi,agar kelak di hari kemudian akan menjadi desa yang Aman Tentrem Loh Jinawi Kerto Raharjo,kaya orang rerawat miskin Ora Gegolet [Hidup Sederhana] setelah mendapatkan Rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa,Embah Kuwu dengan memandang yang jauh meyakinkan,bahwa tempat ini bisa dijadikan Pedukuhan/Desa,kemudian untuk tanda bukti dan ciri,Embah Kuwu Cirebon menancapkan Tongkat disebelah barat Kubangan dan Embah Kuwu bersama Embah Berai dengan menunggang Kuda/Jaran tersebut menuju Lurah Agung Kuningan dimana para Wali dan Pangeran menunggunya,kemudian Embah Kuwu Cirebon melaporkan hasil kerjanya kepada Sultan Cirebon,sambil menunjuk kearah utara dengan berbahasa jawa,KUH BANG ELOR ANA TEMPAT KANG BAGUS LAN RESIK KANGGO DI DAIAKEN PENDUKUHAN/DESA LAN WIS DI UPAI CIRI/tanda sebelah Kulon Kubang wis ditancepi tongkat.
Yang akhirnya di dalam musyawarah Sultan Cirebon tertarik dengan kalimat/pembicaraan Embah Kuwu Cirebon,maka minta persetujuan bahwa penduduk/Desa diberi nama''KUBANGKELOR'' mengambil kalimat dari KUH EBANG DINGIN KERSANING MAHA SUCI para wali dan para pinangeran sangat menyetujuinya untuk untuk diberi nama''KUBANGKELOR''.
Menurut cerita bahwa Tongkat Embah Kuwu Cirebon yang di tancapkan kersaning Yang Maha Kuasa lan Pemurah menjadi sebatang Pohon Gebang.
Yang selanjutnya di musayawarahkan untuk membuat pedukuhan/desa yang pantas untuk memeliharanya,akhirnya hasil musyawarah diserahkan kepada ke 4 orang anaknya Embah Kuwu Cirebon dengan nama masing-masing :
1.Sang Ratu Imas Geulis Anom
2.Pangeran Guru Maya,yang ditempatkan disebelah Girang dan Kawentar Hulu Dayeuh.
3.Pangeran Gegesang/Pangeran Maya Giri/Pangeran Panuhunan yang ditempatkan ditengah dayeuh.
4.Pangeran Sang Hyang Rancasan yang di sebut juga Pangeran Giri Laya[Pangeran Seberang Lautan]
yang di tempatkan sebelah utara dengan Kawentar Birit Dayeuh.
Dalam melaksanakan membuat desa tersebut Empat bersaudara sangat bersatu bahu membahu dan dibantu oleh Masyarakat yang berdatangan berasal dari daerah Pasundan.Di dalam keputusan musyawarah seminggu sekali setiap hari Selasa di adakan musyawarah yang selalu dihadiri Embah Kuwu Cirebon Girang dan tidak ketinggalan dihadiri oleh Embah Berai yang selalu menunggangi Jaran Se,brani,dan di sebelah barat pohon Gebang di buat Istal/tempat Kuda dan sering di sebut dengan Blok erbang/Pagebangan[sebelah Timur menjadi Balai Desa sekarang] setelah menjadi Desa Kubangkelor keadaan menjadi aman tentram kerta raharja banyak masyarakat berdatangan dari daerah Kuningan untuk menjadi warga Desa Kubangkelor.
Dengan singkat cerita setelah Wafatnya ke Empat Bersaudara yang dikebumikan di masing-masing tempatnya,selanjutnya dalam melanjutkan pemeliharaan Desa dilanjutkan oleh keturunannya.
Terlisah yang melanjutkan mengurus Desa Kubangkelor adalah Embah Buyut Warsi/Embah Buyut Gembeng,yang mempunyai dua anak laki-laki yang pertama Ki Buyut Bekong dan ditempatkan sebelah Selatan Laut sekarang Desa Ender,dan yang ke dua Ki Buyut Winangun yang ditempatkan di sebelah Selatan Jalan laut yang sekarang Desa Pangenan pada waktu itu sebagai Cantilan Desa Kubangkelor.
Kehidupan dan penghidupan masyarakat Desa Kubangkelor kebanyakan para petani yang di pimpin langsung oleh Embah Buyut Warsi/Embah Gembeng.
Terkisah sewaktu musim menanam Padi dan kebetulan saluran pengairannya bersatu dengan Tanah Sawah Desa Karangmalang sedangkan pesawahan rakyat Kubangkelor,yang berada di sebelah Utara yang sekarang Blok Putat.Rakyat Tani Desa Kubangkelor setiap mengairi sawahnya selalu diganggu oleh Ki Buyut Jasmiran/Buyut Karangmalang,sedangkan Ki Buyut Jasmiran tidak pernah mencari air ke girang yang akhirnya oleh masyarakat di laporkan kepada KiBuyut Warsi/Buyut Gembeng oleh karena rasa tanggung jawab kepada masyarakat demi kemajuan pertanian yang akhirnya Buyut Warsi turun tangan dan diperintahkan kepada para petani supaya mengairi sawahnya dan akan diawasi oleh Buyut Warsi,ternyata kketika rakyat Tani sedang mengairi sawahnya,maka oleh Ki Buyut Jasmiran saluran air kejurusan Blok Putat di tambaknya rapat-rapat dan airnya di alirkan semuanya ke tanah Desa Karangmalang setelah di ketahui atas perbuatannya Ki Buyut Jasmiran tersebut maka oleh Ki Buyut Warsi yang akhirnya terjadilah perkelahian antara ki Buyut Jasmiran dan Ki Buyut Warsi dikarenakan Ki Buyut Jasmiran tidak mengakui atas perbuatannya,pertarungan/perkelahian terjadi selama 7 hari 7 malam masing-masing mempunyai kekuatan kesaktian,kekuatan Ki Buyut Jasmiran betul-betul kuat totosan bojana,kulit tidak mempan dengan segala perkakas,adapun kekuatan Ki Buyut Warsi/Gembeng mempunyai ilmu Banyu Sakti,apabila terkena sabetan Golok/Pedang bila terkena mengeper atau lunak seperti kena benda Karet dengan kelihatan Ki Buyut Warsi setiap memukul/menyabetkan Pedang/Goloknya selalu satu tempat saja,dengan pemikiran sekalipun bagaimana kuatnya kalau di sabet satu tempat pasti hancur,maka ternyata Buyut Jasmiran menyerah kepada Ki Buyut Warsi/Gembeng,yang akhirnya Ki Buyut Jasmiran mengeluarkan kata-kata kepada anak cucunya/kepada rakyat Karangmalang jangan kamu berani kepada rakyat Desa Kubangkelor dan beliau terus permisi pulang setelah memberikan amanat,Ki Buyut Jasmiran tidak pulang ke rumahnya tapi terus berdiam di Gubugnya di sebelah Utara Karangmalang sampai pada Wafatnya dan sampai sekarang dinamakan Blok Jasmiran adapun Ki Buyut Warsi terus pulang kerumahnya yang berada di Blok Tengah Dayeuh/Blok Keramat sampai Wafat.
-Terkisah entah Kuwu ke berapa Kuwu Kubangkelor namanya Bapak Pasmen sampai tahun 1902
-Pada tahun 1914 Desa Karangsembung tidak dapat melunasi Pajak maka oleh Pemerintah Daerah di
Mekarkan di bagi menjadi dua Desa sebelah Barat nama Desa Karangsembung Kulon dan sebelah Timur
Desa Karangsembung Wetan yang menjabat bapak Ijang yang melunasi pajak waktu itu Desa Kubangkelor
Pada tahun 1918 di adakan pemilihan Kuwu Desa Karangsembung Wetan dan terpilihlah Bapak Ahmad Bodong,dan diberhentikan tidak hormat dikarenakan melanggar administrasi,kemudian oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon di tawarkan kepada Kuwu Karangtengah untuk menyelesaikan administrasi Desa Karangsembung Wetan akan tetapi tidak bersedia dan oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon di tawarkan kepada Desa Kubangkelor pada waktu itu Kuwunya bapak Natawijaya dan sanggup bersedia untuk menyelesaikan administrasi.Tahun 1920,Kuwu Natawijaya mengadakan musyawarah yang disaksikan oleh Kecamatan dan Kabupaten untuk menyatukan Dua Desa yaitu Desa Kubangkelor dengan Karangsembung Wetan diambil Kubang dan Desa Karangsembung Wetan diambil Karang dijadikan satu Desa menjadi Desa Kubangkarang,bapak Kuwu Natawijaya sampai tahun 1928 sebagai Kuwu.
Terus berganti Kuwu :
-Bapak Kuwu Durgi tahun 1928-1932
-Bapak Kuwu Sutawijaya tahun 1932-1941
-Bapak Kuwu Emon tahun1941-1945
-Bapak Kuwu Saptari tahun 1945-1947
Dalam tahun 1947 masa kedaulatan rakyat yang menjabat Kuwu adalah Bapak Abdurahman jabatan Jurutulis.
Dalam tahun 1947 Agresi Belanda kembali menjajah Indonesia,semuanya para aparat Pemerintahan Desa Kubangkarang Angkatan 1945 meninggalkan Desa dan turut serta berjuang dengan Tentara Keamanan Rakyat[TKR].
Pemerintahan Desa kembali dipimpin oleh Bapak Saptari,Perangkat Desa dalam tahun 1948 seorang Pejuang yang melawan Belanda brnama Bapak Jarsa setelah tertembak sehingga mati oleh pasukan patroli Serdadu Belanda,sewaktu sedang melakukan ke Desa Kubangkarang.
Dalam tahun 1949 Pemerintah Kedaulatan Rakyat kembali merdeka,Pemerintah Belanda kembali kenegerinya dan Pemerintahan Desa Kubangkarang kosong pada saat itu,atas kebijakan Bapak Bupati Cirebon,menunjuk Bapak Abdurahman menjabat kembali untuk menyelesaikan administrasi Desa dan menyusun aparat Pemerintahan Desa,masyarakat desa mendukung pencalonan Kuwu tetapi Bapak Abdurahman tidak mau dicalonkan untuk menjadi Kuwu.
Pada tahun 1950 mengadakan pemilihan Kuwu desa Kubangkarang yang terpilih Bapak Kusba sampai tahun 1967,pada tahun 1967 mengadakan pemilihan Kuwu Desa Kubangkarang calonnya ada Tiga yaitu Bapak Kusba,Bapak Taryan,Bapak Warja,antara Bapak Kusba dan Bapak Taryan menang tipis beda satu saja yang dimenangkan oleh Bapak Taryan dari ABRI yaitu anggota CPM Cirebon.
Pada intinya : desa Karangmekar adalah Pamekaran Desa Kubangkarang
Batas dan Luas Wilayah
Desa Karangmekar,Kec.Karangsembung Kab.Cirebon
A.Luas Wilayah desa232.914 Ha/Km
B.Batas Wilayah
- Sebelah Utara : Desa Japura Kidul
- Sebelah Selatan : Desa Kubangkarang
- Sebelah Barat : Desa Sarajaya
- Sebelah Timur : Desa Karangmalang
Demikian kiranya bila ada kurang lebihnya mohon ma'af dan kami berharap untuk masyarakat Kubangkelor/Karangmekar patut bangga ternyata menurut sejarah Desa Kubangkelor adalah termasuk Desa yang menyimpan sejarah para leluhurnya yakni Prabu Kiansantang alias Embah Kuwu Cirebon Girang alias Eyang Cakrabuana alias Embah Kuwu Sangkan dan ditempati oleh keturunannya Para Pangeran Cirebon,harapan kami sebagai anak cucu dan keturunan jangan melupakan jasa beliau untuk senantiasa mengirimi do'a sebagai rasa penghormatan dan tali silaturahim baik dunia maupun talisilaturahim akhirat kang arane kirim Do'a. semoga Desa yang kita cintai mendapatkan Rhido Allah menjadi Desa kang Makmur seperti pada zaman para leluhur kita terdahulu.Amin
SEJARAH SINGKAT UJUNG
GEBANG,SUSUKAN CIREBON
Ketika Syarif
Hidayatullah dinobatkan
menjadi raja di Keraton Pakungwati Cirebon sebagai Sunan di Gunung Jati sekitar tahun 1482M, beliau
memiliki bhayangkari Kerton Pakungwati yang sangat tangguh dipimpin oleh
Pangeran Carbon (putranya Mbah Kuwu Cakrabuana) atau disebut Senopati Yudalaga
(Panglima Perang Keraton Cirebon).Salah satu bawahan Pangeran Carbon yang patuh, setia dan pemberani adalah Anyung Brata ("a"= aku, "nyung" = selalu siap siaga, "brata" = perang) yang selalu berada di barisan terdepan ketika terjadi kerusuhan, peperangan dan keributan, karena keberanainya itulah Anyung Brata selalu disayang oleh Pangeran Carbon sebagai panglima perang.
Untuk menambah keprawiraan dan pengetahuan keagamaannya, Pangeran Carbon dan Anyung Brata berguru ilmu kepada seorang wali yang dianggap mumpuni dalam kema'rifatan yakni Syekh Lemahabang/Syekh Siti Jenar/ Syekh Jabal Rantah.
Namun kemudian, Dewan Wali menganggap ajaran Syekh Lemahabang menyimpang karena tidak sesuai dengan syariat Islam, dan dianggap mengganggu proses penyebaran syariat Islam.
Untuk menghindari pertumpahan darah antara pasukan Demak dan Cirebon, sesepuh Cirebon, Mbah Kuwu Cirebon dan para pelaksana hukum serta para senopati Keraton Cirebon yaitu Pangeran Kejaksan, Pangeran Panjunan, Ki Ageng Bungko dan Pangeran Carbon, menyarankan agar yang diadili adalah Syekh Lemahabang saja sebagai Mahaguru yang harus mempertanggungjawabkannya. Usulan itu disepakati kemudian diadakan sidang tuntutan/ gugatan para wali kepada Syekh Lemahabang yang digelar di Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon.
Untuk menenangkan diri dan menahan diri jangan sampai terjadi perang saudara (perang kadang ibur batur), Anyung Brata membawa istri tercintanya Nyi Mas Kejaksan, puterinya, dan abdinya yang setia yaitu Ki Gawul (Ki Tambak) dan Ki Santani (Ki Bogo), yang berasal dari daerah Pasundan. Mereka meninggalkan Keraton Pakungwati ke arah barat daya Wilayah Keraton Pakungwati Cirebon di perbatasan wilayah Darma Ayu (Indramayu). Anyung Brata dan pengikutnya menyamar seperti masyarakat biasa lalu membuka hutan untuk dijadikan Pedukuhahan.
Untuk mengatasi kebutuhan akan perairan, dibuatlah sumur pertama yang diberi nama Satana (asat tapi ana – sedikit tapi ada). Karena air dari sumur tersebut terasa asin seperti air laut, Anyung Brata mencari lokasi/tanah yang tepat ke arah tenggara. Dan dibukalah sumur yang kedua, yang mengeluarkan air deras, rasanya tawar dan diberi nama Sumuran.
Tanah hasil bukaan hutan tersebut sangat subur, cocok untuk pertanian dan palawija. Anyung Brata membabat hutan untuk dijadikan sawah dan diberi nama Blok Sri Berkah ("sri" = padi, "berkah" diharapkan mendapat berokah) atau dinamai Si Berkat.
Sejarah yang sangat berkaitan dengan Ujunggebang adalah ketika seorang putri dari wilayah Darma Ayu (Indramayu) yang bernama Nyi Mas Pandansari atau disebut juga Nyi Mas Junti melarikan diri dari kejaran seorang saudagar kaya dari negeri Cina yang hendak meminangnya yang bernama Sam Po Kong/ Sam Po Toa Lang atau disebut Dampo Awang dan ditolong oleh Seorang wali bernama Syekh Benthong.
Singkat Cerita, setelah melalui wilayah – wilayah yang dikemudian hari diberi nama Desa Junti Kedokan, Junti Kebon, Juntiwedhen dan Juntinyungat, singgahlah Nyi Mas Pandansari di sebuah sumur di Desa Cadangpinggan (wilayah Kertasemaya, Indramayu untuk sekedar melepas haus (selanjutnya sumur tersebut dikenal dengan nama Sumur Pandansari).
Kemudian Syekh Benthong dan Nyi Mas Junti berjalan kaki memasuki wilayah kekuasaan Keraton Cirebon, bertemu dengan Anyung Brata yang sedang menggarap sawah Sri Berkah/Si Brekat. Setelah berkenalan Syekh Benthong menitipkan Nyi Mas Pandansari/Nyi Mas Junti kepada Anyung Brata dan menceriterakan perihal Nyi Mas Junti.
Untuk mengecoh Dampo Awang yang masih mengejarnya, Syekh Benthong menghambat perjalanan dengan cara memperdaya pandangan Dampo Awang di Hutan/ Alas Walisurat.
Selanjutnya keselamatan Nyi Mas Pandansari/Nyi Mas Junti diserahkan kepada Anyung Brata. Kemudian Syekh Benthong pun melanjutkan perjalanan.
Karena khawatir keberadaan Nyi Mas Junti diketahui oleh Dampo Awang, maka Anyung Brata menyembunyikan Ny Mas Junti di puncak pohon Gebang (Corypha umbraculifera, sejenis palma tinggi besar dari daerah dataran rendah) yang daunnya lebat menyerupai kipas sehingga tidak terlihat.
Peristiwa tersebut diabadikan dengan memberikan nama pedukuhan tersebut dengan nama Pedukuhan Ujunggebang ("ujung" = pucuk, "gebang" =pohon Gebang). Kini Pedukuhan Ujunggebang menjadi Desa Ujunggebang.
Terpedaya dengan Syeikh Benthong, Ki Dampo Awang mencari berputar-putar sehingga kelelahan dan beristirahat di tepi sebuah parit (kalen sepuluh)
Atas pertanda yang diberikan Syekh Benthong, akhirnya Ki Dampo Awang pergi ke suatu daerah yang bernama Trusmi untuk menemui bakal jodohnya dan merelakan untuk menyudahi pencariannya atas Nyi Mas Pandansari.
Sepeninggal Dampo Awang, Nyi Mas Junti dilepaskan, lalu menikah dengan Anyung Brata menjadi istri kedua.
Di pedukuhan tersebut, yang diberi tugas pengamanan Padukuhan adalah Ki Gawul dan Ki Santani. Ki Gawul bertugas jaga malam mengelilingi desa dengan naik kuda dan pos jaga di Wangan Jagadalu/ perbatasan Ujunggebang - Desa Bunder, sedangkan Ki Santani bertugas jaga siang dengan berkuda mengelilingi desa dengan pos jaga di Sungai Jagasiang (sebelah timur Desa Ujunggebang).
Oleh karena mereka bekerja tanpa pamrih, sebagai rasa terima kasih masyarakat padukuhan Ujunggebang senantiasa memberi sedekah berupa uang, kue atau makanan lainnya kepada mereka.
Jasa lain Ki Gawul adalah kemampuannya membendung (nambak) Kedungparen yang curam dan sulit dilewati oleh masyarakat yang akan menuju Situs Buyut Murti/ Makam Kidul. Karena jasanya tersebut, Ki Gawul disebut Ki Tambak.
Setelah Anyung Brata wafat, sebagai balas jasa sebagai bayangkari keraton Pakungwati, dan untuk mempererat hubungan antara kawula dan gusti, Anyung Brata dimakamkan di kompleks Makam Sunan Gunung Jati di sebelah barat (blok Pamungkuran).
Situs Nyi Buyut
Sedangkan jenazah Nyi Mas
Kejaksan disemayamkan di pedukuhan Ujunggebang, begitu pun Nyi Mas Pandansari/
Nyi Mas Junti. Oleh karena itu setiap tahun acara Mapag Sri dan Unjungan,
sebagian masyarakat dari Desa Juntikedokan, Juntikebon, Juntiwedhen dan
Juntinyungat datang berziarah di Makam Nyi Mas Junti yang berada di Desa
Ujunggebang.Makam Nyi Mas Kejaksan dan Nyi Mas Junti dipelihara oleh abdinya yang setia yaitu Buyut Jembar sampai dengan keturunannya (sebagai juru kunci).
Adapun Ki Santani setelah wafat dimakamkan di Situs Ki Bogo yang berada di tengah pedukuhan, sementara Ki Gawul dimakamkan di pojok sebelah tenggara Desa Ujunggebang di dekat Kedungparen yang ditambak olehnya. Masyarakat Ujunggebang menyebutnya Situs Ki Tambak.
Wallahu a'lam bisshowab
(intisari oleh Kusnanto dari "Asal-usul desa di Kabupaten Cirebon"; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon; Narasumber: Marsita S. Adhi Kusuma)
Hasil Bumi
Sebagian besar masyarakat Ujunggebang berprofesi sebagai petani, baik sebagai petani pemilik maupun sebagai penggarap. Baberapa hasil bumi unggulan dari desa ini adalah:- Padi
- Perkebunan Palawija : Cabe, Kacang Panjang, Paria, Emes, Labu
- Perkebunan buah.
Tempat yang Menarik
Suasana Balong pagi hari
- Situs Balong Indah
- Situs Nyibuyut
- Situs Nyiwaja
- Petapan
- Situs Kipenggung
- Situs Kitambak
- Situs Kibogo
- Situs Kalen Sepuluh
- Sibedug
- Janggleng
SEJARAH DESA BODE CIREBON
Tahun 1445 Masehi. Pangeran Walangsungsang ( Mbah Kuwu Cirebon ) setelah belajar agama islam diperguruan Amparan Jati, dengan Syekh Datul Kahfi sebagai gurunya memerintahkan Mbah Kuwu Cerbon untuk segera mengadakan dakwah islamiyah di seluruh tatar Cerbon. Diantaranya wilayah-wilayah yang dikunjunginya adalah wilayah Perdikan Plered, Megu dan Plumbon. Waktu itu dari persisir Lemahwungkuk sampai Perdikan Plered masih berada dalam kekuasaan Kadipaten Wanagiri (Palimanan) Kerajaan Galuh. Setelah berhasil menyampaikan dakwah islamiyah kepada Ki Gede Plered, perjalanan menuju Perdikan Megu dan Ki Gede Megu pun menerima dakwah islamiyah secara sukarela. Dan pada waktu itu Ki Gede Megu menyarankan agar Mbah Kuwu Cerbon melanjutkan dakwah islamiyah nya ke Ki Gede Plumbon. Dan untuk menuju kesana agar menggunakan jalan pintas yaitu memotong jalan ke arah barat melintasi hutan belantara yang masih asri dan belum terjamah oleh tangan manusia.
Diceritakan, setelah masuk dalam hutan, karena waktu sholat dzuhur telah tiba, maka ketika menemukan sebuah sungai, Mbah Kuwu Cerbon mengambil air wudhu. Sampai sekarang sungai tersebut diberi nama Sungai Kaliwulu ( sungai tempat berwudhu ). Dan tempat bermuaranya sungai itu diberi nama Desa Kaliwulu.
Setelah berwudhu, Mbah Kuwu Cerbon mencari tanah yang lebih tinggi untuk melaksanakan sholat dzuhur. Setelah itu beliau melaksanakan sholat hajat dua rakaat, dan berdoa : “semoga wilayah hutan ini, yang airnya bening, segar dan udaranya sejuk ini agar tetap lestari. Dan kelak dikemudian hari, bila dihuni oleh anak cucunya, akan diberikan kesejahteraan, kebahagiaan, kejayaan, dan kebesaran berdasarkan Syareat Islam.
Setelah selesai shalat dzuhur, Mbah Kuwu Cerbon memberi nama hutan ini dengan nama HUTAN WANAJAYA , artinya hutan yang lestari dan jaya makmur sampai akhir jaman (sebagai bukti, sampai sekarang disebelah barat sungai Temiyang. Terdapat sebuah kampung yang disebut Blok Wanajaya, yang sekarang wilayah tersebut termasuk ke dalam Desa Marikangen).
Peristiwa ini terjadi pada +/- Tahun 1445 Masehi, lalu Mbah Kuwu Cerbon melanjutkan perjalanan ke arah barat menuju wilayah Plumbon.
Pada awal berdirinya Kerajaan Cerbon yaitu +/- Tahun 1479 Masehi, hutan Wanajaya, atas saran Mbah Kuwu Cerbon, oleh Sunan Gunung Jati selaku Raja Cerbon, hutan ini ditetapkan sebagai hutan lindung yang tidak boleh diganggu keberadaannya, kecuali bila sudah berusia diatas 1000 tahun.
PERNIKAHAN PANGERAN WIRASABA DAN NYI MAS AYU NAINDRA LAMARAN SARI
Syahdan diceritakan, pada +/- Tahun 1574 Masehi, setelah hari raya Idhul Fitri, Keraton Pakungwati Cerbon pimpinan Panembahan Ratu seperti biasa mengadakan halal bi halal dan silaturrahmi seluruh keluarga kerajaan dan keturunan Sunan Gunung Jati, baik yang di pusat maupun yang berbeda didaerah. Dan acara ini diselenggarakan tepatnya setelah acara “Grebeg Syawal” yaitu tanggal 8 Syawal 994 Hijriyah.
Setelah silaturrahmi semua keturunan Sunan Gunung Jati Selesai, Panembahan Ratu mengumpulkan keluarga khusus keturunan Sunan Gunung Jati dari Nyi Tepasari, yaitu : Nyi Mas Wanawati Raras beserta anak-anaknya dan saudara-saudaranya. Para paman dan bibi beserta anak-anakanya, yang merupakan keturunan dari Pangeran Pasarean, yaitu Pangeran Kesatrian, Pangeran Losari, Pangeran Swarga ( sudah meninggal +/- Tahun 1568 Masehi., maka beliau tidak hadir. Pangeran Swarga dinobatkan sebagai Adipati Cirebon ke II (dua) menggantikan ayahnya Pangeran Pasarean). Nyi Ratu Emas, Pangeran Wirasuta, Pangeran Sentana Panjuanan dan Pangeran Wiranegara / Pangeran Weruju.).
Dari pertemuan keluarga besar Sunan Gunung Jati dari Nyi Tepasari ini, salah satu butir keputusannya adalah sepakat demi untuk menyambung dan mengikat tali persaudaraan bagi keluarga keturunan Sunan Gunung jati dari Nyi Tepasari yang wilayahnya berjauhan, maka diadakan ikatan pernikahan antar keluarga keturunan Sunan Gunung Jati dari Nyi Tepasari.
Dan pada saat itu juga diputuskan, bahwa Pangeran Wirasaba anak dari Pangeran Swarga dan Nyi Wanawati Raras atau juga merupakan adik kandung Panembahan Ratu akan dinikahkan dengan Nyi Mas Ayu Naidra Lamaran Sari, anak bungsu dari Pangeran Losari dan Nyi Silih Asih.
Maka pada hari jumat, ba’da sholat jumat tanggal 5 Desember 1574 Masehi, maka bertepatan dengan tanggal 11 Syawal Tahun 994 Hijriyah, diadakan pernikahan antara pangeran Wirasaba (Putra Pangeran Swarga) yang berusia 23 tahun dengan Nyi Mas Ayu Naidra Lamaran Sari (Putri Pangeran Losari) yang juga berusia 23 tahun.
Penembahan Ratu sebagai saudara kandung Pangeran Wirasaba, merasa sangat bahagia. Dan untuk membuktikan kebahagiaan itu, beliau berkenan memberikan hadiah kepada kedua mempelai berupa sebuah kawasan hutan yaitu, Hutan Wanajaya dan seekor Kerbau Bule Raksasa, bukan untuk dipotong melainkan untuk dikelola tenaganya dalam rangka membuka kawasan hutan tersebut kelak.
KEPERIBADIAN PANGERAN WIRASABA DAN NYI MAS AYU NAINDRA LAMARAN SARI
Perlu diketahui, meskipun usia Pangeran Wirasaba dan Nyi Mas Ayu Naindra Lamaran Sari itu tidak berbeda yaitu masing-masing 23 tahun, namun mental dan kepribadiannya berbeda jauh, ini disebabkan karena keduanya memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang sangat berbeda. Pangeran Wirasaba adalah anak seorang Adipati atau adik kandung Panembahan Ratu (Raja Cirebon Ke II), yang tentu saja hidupnya dipenuhi dengan kebahagiaan dan serba kecukupan, maka sifat manja dan kurang teruji mentalnya sangat terlihat mencolok. Sedangkan Nyi Mas Ayu Naidra Lamaran Sari, meskipun putri dari seorang Adipati di Losari namun beliau tekun belajar dan senang bekerja dan sudah biasa melakukan pekerjaan sendiri. Pelajaran dan pekerjaan yang beliau tekuni adalah bidang pertanian. Sesuai dengan keadaan wilayah Losari yang tanah pertaniannya lebih luas daripada tanah daratannya. Ditambah lagi, ayahnya yaitu Pangeran Losari atau Pangeran Angkawijaya, menggembleng anaknya secara khusus dibidang pertanian ini. Beliau tidak memperlakukan anaknya sebagai seorang anak pembesar, melainkan mendidiknya seperti layaknya anak dari orang biasa, sehingga anaknya ( Nyi Mas Ayu Naidra Lamaran Sari) tumbuh sebagai anak yang tegar, tidak manja, Mandiri dan pekerja keras.
BABAD HUTAN (ALAS) WANAJAYA DAN BERDIRINYA PEDUKUHAN BODE
Setelah masa bulan madu adiknya (kedua mempelai) sudah mencapai tujuh bulan, Panembahan Ratu (Raja Cerbon ke II) memerintahkan keduanya yaitu, Pangeran Wirasaba dan Nyi Mas Ayu Naindra Lamaran Sari, untuk segera membuka hutan dan mendirikan pedukuhan.
Pada hari selasa pagi, tanggal 1 Juli 1575 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 30 Rabiul Akhir tahun 995 Hijriyah, dengan didampingi oleh ibunya (Nyi Mas Wanawati Raras) dan adik kakeknya (Nyi Mas Gandasari) yang masih perkasa meskipun usianya sudah menacapai 75 tahun. Yang sekaligus pula wakil dari Panembahan Ratu yang akan meresmikan Pedukuhan dan melantik kepala Dukuhnya, berangkat menuju hutan Wanajaya, dengan diikuti oleh dua regu prajurit keraton yang masing-masing dipimpin oleh Raden Bayabadra dan Raden Jumantri. Para prajurit inilah yang akan bekerja untuk membuka / menebang hutan yang luasnya hampir mencapai 5 hektar, menurut ukuran sekarang.
Dalam rombongan itupun ikut pula adik dari Nyimas Wanawati yaitu Pangeran Sedang Garuda atau yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mantro dan sahabat karibnya bernama Tuan Ahmad. Tuan Ahmad adalah seorang saudagar dari arab yang juga seorang Da’i (penyebar agama islam). Kehadirannya atas restu dan atas permintaan Penembahan Ratu untuk membina umat islam di wilayah baru itu.
Atas petunjuk dari Panembahan Ratu, Rombongan ini memulai perjalanannya dari rumah Ki Gede Kaliwulu menuju hutan Wanajaya dengan menyusuri sungai Kaliwulu. Tempat utama yang dituju adalah tempat tempat dimana dulu Mbah Kuwu Cerbon sholat dan bermunajat kepada Allah SWT, yaitu sebuah dataran yang agak tinggi, banyak ditumbuhi pohon rindang, berhawa sejuk, berair bening dan segar.
Rombongan terdepan adalah para prajurit yang berjalan kaki, diikuti keluarga Keraton yang menaiki kuda berjalan pelan karena melewati pinggiran sungai yang masih banyak ditumbuhan liar, yang harus dibabad terlebih dahulu oleh para prajurit . dan dibelakangnya ada putra Ki Gede Kaliwulu yang menjadi petunjuk jalan, yang berjalan sambil menuntun KERBAU BULE RAKSASA (Kebo Gede, Bahasa Jawa) hadiah pernikahan dari Panembahan Ratu. Selang beberapa waktu sebelum dzuhur, lokasi yang dicari sudah ditemukan. Nyi Mas Gandasari lalu naik ke dataran tinggi itu dan bersujud syukur ke hadirat Allah SWT.
Benar apa yang dikatakan ramanya, yaitu Mbah Kuwu Cerbon yang sekarang sudah wafat, bahwa tempat itu begitu sejuk dan airnya bening segar.
Usai sujud syukur, Nyi Mas Gandasari selaku pemimpin rombongan memerintahkan prajurit dan anggota rombongan lainnya untuk beristirahat. Seorang prajurit yang mungkin berasal dari Tegal memberitahukan kepada rekan-rekannya dengan mengucapkan : ayo kabeh pada glelengan ! (mari semua pada beristirahat sambil tiduran), ucapan itu sampai terdengar oleh Nyi Mas Gandasari. Setelah itu beliau berkata : “Wahai sekalian, saksikan, bukit ini mulai sekarang aku beri nama Bukit Gleleng”
Nama Gleleng sampai sekarang menjadi nama sebuah tempat pemakaman umum, yaitu TPU Si Gleleng. Sedangkan tempat berkholwatnya Mbah Kuwu Cerbon dan tempat sujud Syukurnya Nyi Mas Gandasari , oleh masyarakat setempat diberi nama Maesan Watu, karena ditempat itu sekarang terdapat petilasan yang berupa kuburan atau makam yang bernisan dari batu.
Bukit Gleleng oleh Nyi Mas Gandasari dijadikan posko pembukaan / penebangan hutan Wanajaya. Sedangkan untuk tempat tinggal keluarga keraton dan para prajurit dibuat bangunan rumah dan barak-barak disebelah timur sungai. Lalu Nyi Mas Gandasari memberi nama lokasi itu dengan nama : “UMAH RINTIS” yang berarti : “Rumah Pertama”. Masyarakat sekarang menyebutnya Tumarintis.
Pagi, hari rabu tanggal 2 Juli tahun 1575 Masehi atau 995 Hijriyah, Nyi Mas Gandasari Memimpin para prajurit menebang hutan disebelah barat bukit Gleleng dan Nyi Mas Wanawati memimpin yang lainnya mengadakan dapur umum. Nyi Mas Ayu Naindra Lamaran Sari mengeluarkan Periuk Tanah Besar (Pendil Besar, bahasa jawa) yang merupakan pemberian dari Ibu nya yang bernama Nyi Silih Asih. Pendil besar ini agak antik. Karena beras yang ditanak cepat masak dan nasinya mekar, seolah-olah nasi tersebut tidak habis-habis dimakan oleh semua anggota rombongan.
Sementara itu, putra Ki Gede Kaliwulu sibuk menjalankan tugasnya sebagai seorang ahli kayu, yaitu membikin bajak (weluku, bahasa jawa). Yang nantinya akan dipergunakan untuk membajak sawah yang luasnya hampir +/- 5 hektar untuk ukuran sekarang. Bajak sengaja dibuat agak besar, karena yang akan menariknya adalah seekor Kerbau Bule Raksasa. Panjang sawah yanga akan dibikin rencananya adalah 1000 depa atau 500 meter, sedangkan lebarnya tidak ditentukan, hanya saja bila nanti ditemukan sebuah saluran air maka penebangan dihentikan sampai disitu.
Dua hari kemudian, hutan yang dipersiapkan untuk lahan sawah itu telah selesai dan bersih, tinggal dibajak saja.
Pagi, hari jumat tanggal 4 Juli tahun 1575 Masehi, Nyi Mas Gandasari mengistirahatkan prajurit-prajuritnya, karena mayoritas rombongan yang laki-laki itu akan melaksanakan sholat jumat.
Setelah shalat jumat, pekerjaan pembajakan sawah segera dimulai. Pekerjaan ini sangat berat , karena dengan sebuah bajak harus menyelesaikan sawah yang luasnya hampir 5 hektar, dalam 1 hari 1 malam.
Hari sabtu sore, saat waktu ashar tiba pembajakan sawah selesai sudah. Kerbau Bule Raksasa yang sangat perkasa dan berjasa itu sangat melelahkan dan kecapean. Dan tanpa permisi kepada siapapun si kerbau pergi meninggalkan rombongan, berjalan kearah selatan menyusuri sungai kecil yang merupakan batasan sawah dan daratan disebelah baratnya, hingga sampai ke mata airnya, yaitu sebuah belik (mata air) yang sampai sekarang, oleh masyarakat setempat belik itu diberi nama belik “Ki Bean”.
Karena terlalu lelah dan capeknya, Kerbau Bule Raksasa yang sangat perkasa dan berjasa itu berkubang sampai tertidur ditempat itu. Tanah belik yang dikubangi Sang Kerbau sampai ambles, hingga tapaknya sampai sekarang masih dapat dilihat (di blok Kedung Gondang, Desa Bodelor).
Sementara itu, Nyi Mas Gandasari yang sedang berkumpul dengan seluruh rombongan, baru sadar bahwa sang Kerbau Bule Raksasa telah hilang entah kemana. Kerbau Wasiat hadiah dari Panembahan Ratu itu jelas jangan sampai hilang, apalagi sampai dimakan binatang buas. Nanti apa kata Panembahan Ratu. Untuk itu harus dicari sampai dapat karena rencananya peresmian pedukuhan dan pelantikan kuwu akan diadakan setelah sholat isya, hari itu juga.
Setelah dicari ke seluruh sudut dilokasi itu, barulah datang salah seorang prajurit dengan tergopoh-gopoh mengadap dan melaporkan kepada Nyi Mas Gandasari, bahwa dirinya telah menemukan sang kerbau sedang berkubang sambil tertidur, entah masih hidup atau tidak. mendengar laporan itu Nyi Mas Gandasari segera menuju tempat yang dimaksud oleh prajurit tersebut. Betul juga apa yang disampaikan oleh prajurit tadi, bahwa sang kerbau sedang berkubang sambil tertidur. Merasa ada tuannya datang ditempat itu, sang kerbau terbangun dan menghampiri Nyi Mas Gandasari. Lalu Nyi Masa Gandasari menuntun Sang Kerbau Bule Rakasasa tersebut meninggalkan tempat itu.
Setelah shalat magrib, Nyi Mas Gandasari mengumpulkan keluarga keraton dan memusyawarahkan mengenai apa nama pedukuhan yang telah dimulai penebangannya itu.
Hasil musyawarah menetapkan, karena jasa besar Kerbau Bule Raksasa yang telah membajak sawah, dan untuk mengenang jasa Kerbau Bule Raksasa tersebut, maka pedukuhan itu diberi nama pedukuhan “KEBO GEDE” (Kerbau Besar , bahasa indonesia).
Namun untuk memudahkan penyebutannya, maka di singkat menjadi “BODE” kepala pedukuhannya disebut Ki Kuwu Bode, dan setelah pedukuhan ini berubah menjadi tanah perdikan, sebutan Ki Kuwu Bode berubah menjadi Ki Gede Bode. Dan sawah yang baru dibuka itu, yang merupakan tanah kelungguhan atau tanah bengkok untuk istirahat sekarang, diberi nama :”SAWAH GEDE”.
Dan detik-detik yang ditunggu-tunggu telah tiba, yaitu pelantikan kepala pedukuhan dan peresmian pedukuhan baru yang berada di bawah kekuasaan kerajaan cirebon.
Upacara dimulai, para prajurit dan rombongan lainnya berbaris bershaf. Nyi Mas Gandasari berdiri di depannya menghadap ke arah barisan upacara tadi. Dibelakangnya berdiri sambil berbaris para keluarga keraton dan tak lupa sang Kerbau Bule Raksasa yang gagah perkasa berdiri tegak disamping agak kebelakang Nyi Mas Gandasari.
Dan Nyi Mas Gandasari menyampaikan pengumuman resminya. “Wahai para prajurit, dengan disertai rasa syukur kepada Allah SWT, dengan ucapan bismillahirrahmanirrahiim pada hari ini, sabtu tanggal 5 Juli 1575 Masehi Ba’da isya bertepatan dengan tanggal 4 Jumadil awal tahun 945 Hijriyah, saya atas nama Kerajaan Cirebon, Panembahan Ratu, meresmikan pedukuhan ini dengan nama “PEDUKUHAN BODE” dan melantik Pangeran Wirasaba sebagai Kuwu Bode pertama.
Setelah upacara selesai, semua mengucapkan selamat. Dan bersama-sama mengadakan sujud syukur dan berdoa agar “BODE” menjadi pedukuhan yang makmur, sentosa, sejahtera dan dikaruniai segala kebesaran oleh Allah SWT.
MENGENAL CIREBON
Melongok "Masjid Seribu Jin" Peninggalan Ki Lobama
BEBERAPA SELEBRITIS DAN PUBLIK FIGURE PERNAH TERLIHAT MENZIARAHI TEMPAT INI. PADAHAL, AREA KERAMAT INI TERKENAL SEBAGAI TEMPAT UNTUK MENCARI JIN PENDAMPING. APA YANG MEREKA LAKUKAN DI TEMPAT INI?
BEBERAPA SELEBRITIS DAN PUBLIK FIGURE PERNAH TERLIHAT MENZIARAHI TEMPAT INI. PADAHAL, AREA KERAMAT INI TERKENAL SEBAGAI TEMPAT UNTUK MENCARI JIN PENDAMPING. APA YANG MEREKA LAKUKAN DI TEMPAT INI?
Di Amerika sana kita mengenal Barack Obama. Ya,
nama yang satu ini memang sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Dia adalah presiden negeri adidaya pertama yang berasal dari kulit hitam. Namun, di Cirebon juga ada nama yang mirip dengan nama presiden melankolis itu. Bedanya, yang ada di kota Udang ini sudah berusia ratusan tahun. Bahkan, makamnya saja diperkirakan sudah berumur kurang lebih 800 tahun. Namun, soal kharisma dan kekuatan supranatural yang dimiliki oleh tokoh yang satu ini tentu tidak akan mampu tertandingi oleh Obama yang kini menghuni gedung putih di Washington DC.
Nama Syekh Ki Lobama yang oleh masyarakat Cirebon lebih dikenal dengan sebutan Lobama memang sudah tidak asing lagi. Tokoh keramat ini selalu identik dengan makhluk halus.
Dia adalah presiden negeri adidaya pertama yang berasal dari kulit hitam. Namun, di Cirebon juga ada nama yang mirip dengan nama presiden melankolis itu. Bedanya, yang ada di kota Udang ini sudah berusia ratusan tahun. Bahkan, makamnya saja diperkirakan sudah berumur kurang lebih 800 tahun. Namun, soal kharisma dan kekuatan supranatural yang dimiliki oleh tokoh yang satu ini tentu tidak akan mampu tertandingi oleh Obama yang kini menghuni gedung putih di Washington DC.
Nama Syekh Ki Lobama yang oleh masyarakat Cirebon lebih dikenal dengan sebutan Lobama memang sudah tidak asing lagi. Tokoh keramat ini selalu identik dengan makhluk halus.
Di makamnya yang terletak di Mundu Pesisir, Cirebon,
Jawa Barat, juga diyakini tersimpan beragam benda pusaka dan tentu saja ribuan
jin yang siap dimintai bantuan oleh para peziarah. Namun, jangan dulu bersenang
hati. Ribuan jin yang menjaga tokoh sakti yang dipercaya sebagai guru gaib dari
Pangeran Cakrabuana, atau mertua Sunan Gunung Jati Cirebon ini tidak
segan-segan menyakiti peziarah yang berlaku tidak sopan di tempat keramat
majikannya itu.
Tempat keramat makam Ki Lobama ini masih menjadi
favorit jujugan para pencari berkah, khususnya dari wilayah Cirebon dan
sekitarnya. Bahkan dari kota-kota lain di Indonesia.
Konon, kehebatan jin yang biasanya sering dijadikan
prewangan di tempat ini juga banyak diburu kalangan pejabat dan juga
artis-artis top ibu kota. Sebut saja Suzanna (alm), George Rudy, Ray Sahetapy,
dan masih banyak lagi selebriti lain yang bertandang ke makam keramat ini.
Diakui Raden Solihin (52), juru kunci makam Ki Lobama,
banyak peziarah yang ingin ngalab berkah ke makam ini terutama pada waktu-waktu
tertentu yang dianggap keramat. Seperti pada malam Jum'at Kliwon, serta di
bulan Maulud menurut kalender Islam. Sebagian besar, tujuan para peziarah itu
ingin mendulang kesaktian Ki Lobama yang di masa hidupnya memang dikenal
sebagai jagoan sakti yang tak tertandingi.
Kesaktian Ki Lobama tidak perlu diragukan lagi.
Menurut cerita, dia sanggup menandingi kesaktian bangsa jin dan makhluk halus
lainnya. Salah satu yang berhasil dikalahkannya adalah jaman Galunggung
dari Gunung Ciremai, yang ada masa Perang Talaga sangat sulit dikalahkan. 5
jaman Naga Galunggung ini diyakini hingga sekarang masih berada di sekitar makam
Ki Lobama.
Setiap harinya ada saja peziarah yang mencari
peruntungan untuk mendapatkan siluman Naga Galunggung tersebut, yang memang
dipercaya sanggup mewujudkan keinginan apapun darinya.
"Ceritanya begitu. Tapi, selain siluman itu di
sini banyak pusaka lainnya yang sering diburu Tapi, kalau tidak hati-hati
memang sering membawa petaka karena jin dan makhluk halus : tempat ini dikenal
sangat galak dan suka usil," terang Raden Solihin.
Satu hal yang sangat dikenal di kompleks keramat ini adalah prewangan yang dapat dibawa pulang
untuk dijadikan pendamping : guna melancarkan segala hajat si empunya. konon,
jumlah jin dan makhluk halus di makam Ki Lobama ada ribuan, sehingga tidak akan
pernah habis walaupun banyak yang memburu dan membawanya pulang.
Banyaknya jin dan makhluk halus yang ada di makam ini
terkait dengan kesaktian Ki Lobama yang memang tak tertandingi oleh siapapun.
Sehingga, hampir seluruh jin dan makhluk halus yang ada di tanah Jawa, bahkan
dari semenanjung Arab pun berkumpul dan menjadi khodam atau rudak Ki Lobama.
Selain prewangan, di makam ini juga dipercaya banyak
tertanam secara gaib benda-benda pusaka. Benda-benda pusaka itu konon pula yang
pernah digunakan oleh seluruh jawara di tanah Jawa. Maklum saja, Ki Lobama
merupakan salah satu guru gaib dari para jawara yang pernah menjadi legenda di
tanah Jawa.
"Sejarahnya mencatat demikian. Saya sendiri
sering menjumpai orang-orang yang datang ke sini sengaja hendak menarik pusaka.
Dan banyak di antara mereka yang berhasil 'tambah Raden Solihin.
Namun, yang paling kondang dari tempat ini adalah
prewangannya yang memang terkenal galak, jadi tak jarang ada peziarah yang
harus ketiban sial karena mendapat gangguan baik fisik maupun mental dari
kawanan jin yang menjaga tempat tersebut. Menurut Raden Solihin, jin-jin itu
bisa diminta kepada Ki Lobama untuk dibawa pulang dan dapat dijadikan pesuruh
atau budak.
Sayangnya, tidak gampang untuk dapat membawa jin saja
dari tempat ini. Selain terlebih dahulu akan mendapatkan perlawanan dari jin
yang bersangkutan, restu Ki Lobama juga sangat menentukan. Sebab, jika jin
berhasil dikalahkan kesaktiannya oleh para peziarah dan berhasil dibawa pulang,
namun kalau Ki Lobama tidak memberi restu, jin-jin itu akan kembali lagi ke
tempatnya semula. Dan, jangan pernah untuk datang lagi mengambil jin itu. Kalau
tidak gila, orang tersebut bakal meregang nyawa. Demikian pantangan yang tidak
boleh dilanggar.
Itu sebabnya, para peziarah sangat hati-hati jika
mengunjungi makam keramat Ki Lobama. Bahkan, Raden Solihin selaku juru kunci
juga tak segan-segan untuk menolak rencana ziarah dari orang-orang yang
dianggap akan mendapatkan penolakan gaib dari kawanan jin maupun dengan Ki
Lobama.
"Saya sering menolak membukakan pintu makam kalau
peziarah itu berniat tidak baik. Karena sering terjadi musibah bagi mereka.
Tidak perlu harus menunggu sampai di rumahnya, di sini saja sudah terlihat.
Biasanya orang itu jadi gila," beber Raden Solihin.
Melihat dari dekat bentuk makam Ki Lobama yang ukuran
panjangnya melebihi ukuran makam pada umumnya, bisa diyakini, Ki Lobama memang
bukan orang Cirebon asli. Kabarnya dia berasal dari Baghdad, Irak.
Kedatangannya ke tanah Cirebon pada awalnya untuk berdagang sambil menyebarkan
ajaran agama Islam.
Pada saat Pangeran Cakrabuana masuk Islam, Ki Lobama
merupakan guru gaib bagi kesaktian Pangeran Cakrabuana.
Selain makam, peninggalan Ki Lobama lainnya yang ada
di tempat tersebut yakni masjid keramat dan sumur keramat. Masjid keramat Ki
Lobama dikenal dengan nama Masjid Seribu Jin. Agaknya, dinamakan demikian
karena masjid yang bentuknya sudah tidak beraturan lagi itu memang disinyalir
menjadi rumah bagi ribuan jin pengikut Ki Lobama.
Bagi orang-orang yang memiliki daya linuwih akan kaget
menyaksikan di gundukan batu merah bekas bangunan masjid yang sudah hancur Itu
berkumpul ribuan jin dari berbagai jenis.
Jin-jin inilah yang nantinya dapat dimintakan izin pada Ki Lobama untuk dibawa
pulang.
Keangkeran masjid kuno ini terkenal sampai ke Seantero
Tanah Sunda. Siapapun, jika ditanya tentang masjid ini, pasti akan menjawab
masjid Ki Lobama. Banyak kejadian ganjil di tempat itu. Namun, yang paling
sering disaksikan oleh orang-orang yang kebetulan berziarah ketempat ini,
masjid tersebut terkadang terlihat mengapung di udara, naik turun seperti ada
yang mengangkat. Sering pula, masjid kuno itu menghilang tidak jelas kemana
rimbanya.
Orang yang sudah paham pasti tidak akan kaget
menyaksikan bekas masjid kuno itu mendadak hilang dari pandangan."Kalau tirakat di bekas masjid kuno itu pasti akan banyak gangguannya Jin-jinnya galak-galak dan suka jahil,"jelas Raden Solihin.
Tidak ada ritual khusus untuk bisa mendoakan jin-jin
di tempat ini. Peziarah hanya tinggal datang dan melakukan tirakat. Namun, yang
terpenting jangan sampai membuat jin-jin di tempat itu marah. Kemarahan ribuan
jin itu dapat terjadi jika peziarah berlaku kurang sopan terhadap Ki Lobama.
Misalnya saja mengumpat, apalagi sampai mengotori tempat tersebut.
Jin-jin yang berhasil dibawa pulang dapat dijadikan
prewangan dan tidak ada perjanjian khusus. Artinya, untuk memperpanjang kontrak
cukup dilakukan dengan berzirah ke makam Ki Lobama selaku si empunya jin.
"Di sini ritualnya sederhana sekali. Namun, yang
paling menakutkan memang tipe jinnya yang galak-galak,"pungkas Raden
Solihin.